Jumat, 29 Januari 2010

Panorama Subuh



"Purnama kini telah lenyap. Namun mentari tampaknya masih malu-malu memancarkan semburat kemolekannya. Hanya terdengar sayup-sayup nyanyian surgawi yg berkumandang di seantero langit. Di waktu subuh. Terbangun jiwa-jiwa yg sempat lelap dalam mimpinya masing-masing."

Dinar Prisca Putri
Bojonegoro, 29 Januari 2010

Selasa, 12 Januari 2010

"CURHAT SETANKU"



Judul: "Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya"
Penulis: Fahd Djibran (http://www.ruangtengah.co.nr/)
Penerbit: Gagas Media (http://www.gagasmedia.net/)
Terbit : 2009
Tebal: 172 halaman


Kalian tahu, sejujurnya impian lah yang membuatku memiliki harapan, dan harapan lah yang sanggup memaksaku bertahan. Mungkinkah mengganggu waktumu, jika aku sedikit mencurahkan isi hatiku hari ini? Seperti Zira dalam tulisan Fahd, izinkan aku menulis tentang mimpi dan impianku.

Beberapa hari yang lalu aku bermimpi.

Aku membeku bersama malam yang telah menembus batas kewajarannya. Mataku begitu teliti menatap rupa sang malam yang tertunduk tanpa ekspresi. Hanya hitam dan diam yang mencuat di dalam celah yang tercipta di antara kami. Aku dan sang malam, kami, sama-sama menyimpan sebentuk impian dan harapan yang masih tersimpan erat dalam genggaman.

Malam dengan angkuh begitu sombong mengelu-elukan dirinya. Menyatakan bahwa tak lama lagi harapannya akan lekas menjadi sesuatu yang nyata. Bahwa pagi akan segera menjelang dan mentari akan membawanya pergi menuju dunia yang ia nanti-nanti. Senuah dunia dimana tak kan ada lagi kegelapan, dunia yang benderang, dan tak lagi hitam.

Dan aku, apa yang terjadi denganku? Aku hanya terdiam dalam kebisuan dan keterpurukanku sendiri. Aku kehilangan kata, kehilangan tenaga, dan kehilangan harapan yang telah aku bangun jauh sebelum jiwaku sendiri ada. Harapanku hanyut bagai umpan yang terlepas dari kaitnya. Aku pun ikut terseret menenmbus gelombang samudera yang tak kutahu ke mana arah arusnya.

Sementara malam dengan angkuh terus meneriakkan simfoni kemenangannya akan diriku. Karena kini mentari telah terbit di ufuk timur, dan malam akan segera hilang oleh siang. Tapi siang lah yang membawanya pergi ke dunia yang ia impikan selama ini.

Tiba-tiba saja “setan” membelenggu jiwaku, erat sekali, sampai aku tak kuasa menepisnya. Aku pun berteriak dalam hati, “Aku curiga kepada Tuhan. Agaknya Dia yang menulis skenario ini untukku. Agaknya Dia yang membawaku singgah di dataran asing yang tak kukenal ini. Ya, tentu saja Dia. Dia Tuhan. Sepantasnya mampu melakukan apa yang Dia mau.”

Aku terdiam sejenak, lalu bisikan “setan” itu kembali merajai jiwaku. “Aku tersesat, Tuhan. Akankah Kau tahu itu. Tubuhku mungkin masih sanggup menopang semua keinginan-Mu ini. Meski sesekali aku terjatuh juga bersama raut-raut kekecewaan yang turut mewarnai setiap detik waktuku yang tersisa. Namun aku takut jiwaku bisa mati empat tahun lagi, tiga tahun lagi, dua tahun lagi, atau bahkan satu tahun lagi, jika aku terus membangun kehidupanku di tempat asing ini. Aku sesak. Aku tak bisa bernafas,” protesku dengan lantang.

Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku benar-benar nyaris tak bisa bernafas. Nafasku terengah-engah, persis seperti orang yang lari dikejar setan, bukan setan seperti yang digambarkan Fahd dalam tulisannya, tapi setan secara harfiah.

Aku celingukan kiri-kanan. Kulirik layar ponselku, masih jam satu malam. Tapi mataku tetap tak bisa diajak kompromi, ia tak mau terpejam lagi. Akibatnya, aku hanya berkedip dalam sepi. Sembari terpaku menatap langit-langit kamar yang menguning, hanya gemericik air hujan yang terdengar menemaniku malam itu.

Tiba-tiba aku mendapati sebuah buku yang kubeli dua hari lalu tergeletak lesu di atas meja, belum sempat kubaca. “Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya”, begitu judul yang tertera jelas di sampul depan buku.

Aku tertarik dengan judul buku ini yang begitu menggoda. Layaknya sifat setan yang selalu hangat diperbincangkan, suka menggoda kami, para manusia. Berbeda dari bayanganku sebelumnya, buku ini ternyata sangat jauh dari kesan seram, horror, angker, atau apalah itu yang berhubungan erat dengan setan. Kesan itu sebenarnya ditampakkan pada cover buku yang didesain simple tapi “wah”. Hampir mirip dengan buku "Dracula", terdapat warna merah di tiap lembar tepi halamannya. Perpaduan warna putih sebagai background sampul dan warna merah sebagai tulisan judul serta sebagai warna bagian tepi halaman, membuat buku ini tampak berbeda dari deretan buku yang lain.

Jari-jari tanganku pun tak henti membolak-balik setiap halaman buku karangan Fahd Djibran ini. Karena rasa penasaran yang terus bergelanyut dalam benakku, akhirnya kuputuskan untuk membacanya juga. “Wow, setan banget!”, mungkin itu kalimat pertama yang mencuat dari mulutku ketika aku selesai membaca keseluruhan isi buku.

Melesetnya kesan buku ini dari pandangan para pembacanya, termasuk aku, tak lantas membuat isinya menjadi kurang. Dalam buku setebal 172 halaman ini, Fahd secara lincah mengajak kita melakukan perenungan terhadap fenomena-fenomena yang sebenarnya sangatlah sederhana, lumrah, dan lazim terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Buku ini pun nyatanya sukses membuatku merenung semalam suntuk. Dikemas dalam 30 judul bab yang relatif singkat, dengan dibumbui pertanyaan-pertanyaan nakal namun sederhana, serta penuturan bahasanya yang mudah dimengerti, membuat maknanya tersampaikan secara apik.

“Curhat Setan”, seperti kata Fahd Djibran, rasanya sulit dikategorikan sebagai jenis buku tertentu. Namun jika kita melihat tulisan yang tertera dalam kolom ISBN di sampul belakang buku ini, nampak bahwa pihak Gagas Media mencoba mengkategorikannya ke dalam jenis buku “sastra”. Judul buku ini sendiri sebenarnya di ambil dari salah satu judul bab di dalamnya, “Curhat Setan” (halaman 125). Disajikan dalam bentuk dialog-dialog imajiner yang menggelitik, kita dituntun untuk mengkaji lebih jauh, mengapa setiap kali melakukan dosa atau kesalahan, kita selalu mengatasnamakan pihak lain, termasuk setan, sebagai penyebab utamanya. Jarang sekali kita mau dengan rendah hati mengakui kesalahan yang telah kita perbuat sendiri. Lantas, bagaimana jika suatu saat Tuan Setan meminta pertanggungjawaban kepada kita, karena merasa selalu dikambinghitamkan?

Buku karangan Fahd ini memang patut diacungi jempol. Ada beberapa bagian dalam bukunya yang memiliki makna cukup berarti bagiku secara pribadi. Akan aku tunjukkan pada kalian yang telah setia mendengar curhatku sedari awal tadi.

“Utopia adalah sebuah titik, yang ketika kau berada di sebuah horizon, titik itu berada sepuluh langkah di hadapanmu. Setiap kali kau mendekatinya sepuluh langkah, titik itu akan menjauh sepuluh langkah. Dan ketika kau berusaha menggapainya seribu langkah, titik itu selalu menjauh sebanyak langkah yang kau ambil” (halaman 111-112).

Pada awalnya aku mengira bahwa utopia yang dimaksudkan di sini adalah sebuah nama grup band asal kota kembang, Bandung, yang sempat melejit dengan hitsnya yang berjudul “Serpihan Hati”. Tapi nyatanya aku salah kaprah. Mukaku sendiri terlihat memerah habis-habisan akibat malu tak karuhan. Untunglah tak ada satu orang pun yang melihat reaksiku pada waktu itu. Atau jangan-jangan, Tuan Setan diam-diam mengawasiku? Oh, tidak! Malu sekali rasanya.

Hmm, kembali lagi pada permasalahan seputar utopia. Seperti kata Fahd dalam bukunya, “Impian memang sejenis utopia. Ia penting untuk dimiliki. Dan, anak-anak mempunyai stok yang banyak, sedangkan orang dewasa susah sekali bercita-cita dan bermimpi, padahal bermimpi tak harus bayar.” (halaman 111)

Aku memang bukan kanak-kanak lagi. Kini aku sudah duduk di bangku perkuliahan dan menyandang gelar sebagai seorang mahasisiwi. Tapi aku ingin sekali menjadi seperti mereka, anak-anak yang selalu memiliki utopia. Utopia membuat mereka tak bisa diam, mendorong mereka untuk terus melangkah, melangkah, dan melangkah demi menggapai impian mereka. Itulah alasannya mengapa aku sangat menyukai bab dalam buku ini yang berjudul “Mimpi” (halaman 107). Penjelasan Fahd akan makna sebuah utopia, membuatku semakin termotivasi untuk terus melayangkan mimpiku setinggi-tingginya, tanpa henti, tanpa spasi, tanpa jeda, sampai aku berhasil meraihnya.

Berbicara tentang mimpi dan impian, lewat tulisanku ini, ingin kuceritakan pada kalian semua tentang impianku. Bukankah di awal tadi aku sudah meminta izin untuk bercerita? Memang harus kuakui, aku bukanlah orang yang pandai menulis. Mungkin kalian yang telah membaca tulisanku ini juga beranggapan demikian, bukan? Karena aku memang bukan seorang penulis. Bukan juga Fahd Djibran yang talah berhasil menghasilkan buku yang luar biasa layaknya “Curhat Setan”. Tapi yang harus kuakui adalah aku suka menulis. Itu saja.

Kembali pada ceritaku tentang mimpi dan impian. Layaknya anak-anak seumuranku yang lain, semasa kecil pun aku memiliki sebuah mimpi.

Masih melekat dalam memori, saat aku berusia empat tahun, Ibu Guru TK bertanya kepadaku, “Apa cita-citamu, Nak?”

“Dokter, Ibu!” aku pun menjawabnya tanpa ragu.

Itulah mimpi kanak-kanakku. Menjadi seorang dokter, seperti salah satu mimpi Zira di masa kecilnya yang diceritakan Fahd dalam buku. Mungkin kedengarannya, itu memang sebuah cita-cita yang umum dikalangan anak anak. Namun aku tak ingin hanya menjadikannya sebuah angan-angan kosong anak balita, yang kemudian terhapus saat ia mulai beranjak dewasa. Yang jelas, hanya satu impianku saat ini, yaitu mewujudkan mimpi masa kecilku. Jadi Dokter. Sederhana, bukan? Ya benar, sederhana sekali. Namun perjuangan untuk meraihnya tak sesederhana yang kalian bayangkan.

Bukannya jadi mahasiswi kedokteran, sekarang aku malah nyasar di Fakultas Ilmu Sosial. Perasaan sedih, kecewa, kesal, marah, semua campur aduk jadi satu. Kekecewaan itulah yang mungkin mendasari mimpiku malam itu (mimpi yang kuceritakan di awal tulisanku). Aku merasa semua perjuanganku selama ini terbuang sia-sia. Aku tersesat. Hanya itu yang aku rasakan. Sampai-sampai dalam mimpi saja, aku protes kepada Tuhan. Protes akan kediktatoran-Nya. Tapi kejamnya aku yang justru menuding setan yang telah menghasutku, agar aku marah kepada Tuhanku. Padahal, itu mungkin akibat aku sendiri yang memang tak mau bersyukur, atas apa yang sudah diberikan Tuhan padaku sampai saat ini.

Aku pun akhirnya bangkit dari lelapku. Aku tak mau terus larut dalam kekecewaan dan keterpurukan. Toh semua itu tak akan merubah apa pun yang telah terjadi. Aku mulai menyadari, apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku, mungkin merupakan jalan yang paling sempurna. Ya, paling tidak untuk saat ini. Aku percaya ada hikmah yang tersimpan di balik rencana-Nya yang agung. Mungkin saja, agar aku terus berusaha, berjuang, tak mudah putus asa, dan tak mudah puas pastinya. Kurasa ada benarnya. Buktinya, tak ada yang mampu meredam hasrat juangku hingga detik ini. Tentu saja, karena aku seorang anak yang selalu memiliki utopia. Sebuah titik, sebuah impian, yang membuatku terus melangkah dan tak pernah lelah untuk meraihnya.

Seperti yang sempat kukatakan sebelumnya, bahwa impian lah yang membuatku selalu punya harapan. Harapan? Harapan ternyata serupa candu yang tak pernah tuntas. Seperti tempat tujuan yang selalu ada di stasiun berikutnya. Barangkali, masih ada harapan. Barangkali? Ya, “barangkali”, harapan seperti kata-kata yang tak pernah memberi kepastian semacam itu. Tapi, di stasiun, semisterius apa pun ia berada, harapan tetaplah sebuah destinasi yang nyata. Ia ada, dan siapa pun yang menempuh suatu jalan ke arahnya, suatu saat akan sampai kepadanya (halaman 88).

Tulisan Fahd Djibran ini membuatku semakin yakin bahwa dengan adanya harapan, suatu saat Tuhan akan memeluk mimpi-mimpiku dan menghantarkanku sampai ke sana. Tidak di tahun sebelumnya, namun barangkali di tahun ini ada harapan. Bukan begitu? Tentunya aku akan terus berusaha dan berdoa kepada-Nya. Karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup mengalahkan keajaiban doa, yang merupakan komunikasi langsung dengan Tuhan. Tapi ngomong-ngomong, jika ingin berkomunikasi langsung dengan setan, lewat media apa ya? Hmm, sepertinya Fahd yang lebih tahu soal itu.

Terimakasih Fahd, atas bukumu yang mampu menginspirasiku, atas tulisanmu yang berhasil mengobarkan semangatku, atas ceritamu yang membuatku bisa memaknai hidup dari sudut pandang yang berbeda, jauh lebih baik. Terimakasih untuk kalian yang bersedia dengan tulus membaca ceritaku, curahan hatiku, dari awal hingga akhir, atau kepada kalian yang hanya berpura-pura membaca tulisanku, tak apa lah. Karena sekali lagi aku tegaskan pada kalian, bahwa aku bukanlah orang yang pandai menulis, melainkan hanyalah seorang yang suka menulis. Itu saja.

Maaf jika terlalu banyak menyita waktu kalian dengan segelumit cerita tentang mimpi dan impianku. Namun aku sangatlah berharap, ini tak akan hanya jadi cerita usang yang tak berharga. Semoga! Dan pesanku yang terakhir, jangan lupa sempatkan waktu kalian untuk membaca buku “Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya” yang ditulis oleh Fahd Djibran ini (karena kabarnya Tuan Setan belum belajar menulis). Bersiaplah untuk tersihir ke dalam dunia “setan” milik Fahd Djibran. Semoga bermanfaat!

NB:
Curhat setan ada soundtracknya juga lho...!!!

http://www.reverbnation.com/bfdf