Minggu, 27 Desember 2009

MIMPI ANAK BANGSA DI HARI ANAK NASIONAL

Kamis. Daun-daun yang hitam oleh malam, berdesir di atas kaku batang tulangnya. Disapu angin yang berhembus lirih membawa hawa beku yang sulit ditepis. Rembulan yang muram dengan perlahan semakin meninggi.
Mataku masih tertegun menatap langit-langit kamar menguning. Menafsirkan makna hari anak nasional yang tiap tahun selalu diperingati, oleh seluruh bangsa Indonesia. Tapi akankah dirasa manfaatnya oleh anak bangsa?

Beberapa menit terlewati, mataku tiba-tiba terpejam dengan mulut yang berkomat-kamit melafalkan doa sebelum tidur.

Pikiranku menerawang jauh, terbang melintasi Samudra Hindia yang luas, merasuk dalam akar-akar pohon yang kokoh, terbang lepas di bawah atap biru tanpa batas, hingga aku sampai di sudut kota metropolitan yang megah. Mataku masih terpejam, dan aku terus menyusuri ruas-ruas kota yang kelam. Langkah-langkah kecil menyeruak di antara deru mesin dan klakson yang membahana. Sering kali suara derap langkah itu terhenti di lampu merah.



Ada yang dengan lincah mengayunkan jemarinya, memetik dawai gitar seadanya.



Ada yang memikul kantung-kantung berat berisikan surat kabar dan buku-buku bekas, tapi bukan untuk dibaca. Berisi botol-botol plastik air minum, tapi bukan untuk diminum. Melainkan menukarkannya dengan beberapa lembar uang dari tengkulak yang sedianya mau membeli hasil jerih payah mereka. Mungkin tak banyak memang, tapi semoga cukup untuk mengganjal perut hari ini.



Bahkan ada yang hanya menengadahkan tangan, sembari berdiri dibalik semburat kaca-kaca mobil mewah yang terpaksa berhenti di perempatan.

Begitulah rupa polos mereka yang terus memohon belas kasihan para dermawan.

Tak ada pendidikan, tempat tinggal, makanan, pakaian, bahkan perlakuan yang layak untuk mereka, saudara-saudara kita.
Katanya, fakir miskin dan anak-anak terlantar dipelihara oleh negara. Apa tinggal semboyan belaka?
Tidak, pemerintah kini sudah berbenah. Bantuan langsung bagi warga yang tidak mampu diberikan, beras, asuransi kesehatan, dan sekolah gratis bagi anak bangsa yang kurang mampu. Berharap, upaya akan terus ditingkatkan hingga mencapai kata maksimal. Semoga.

***

Kakiku terus melangkah menyusuri mimpiku. Terik begitu menyengat siang ini. Sesekali, kubasuh peluh yang membasahi dahi. Kuayunkan langkah demi langkah, hingga nampak olehku gerombolan orang yang berkerumun tepat di hadapanku. Seketika, kuperlambat langkah. Perlahan aku mengintip dari balik punggung manusia-manuasia itu. Tapi kaki kananku terantuk batu, dan alas kakiku terlepas, terlempar jauh dariku. Aku tak pedulikan hal itu, karena rasa penasaran akan apa yang tengah terjadi terus bergelanyut dalam benakku.

Ku dekati kerumunan itu, lebih dekat, lebih dekat lagi, dan semakin dekat, hingga aku pun dapat menjangkau porosnya. Tiba-tiba telapak kakiku yang tanpa alas, merasakan dingin yang menyemut di kaki. Kutengok seketika, rasa penasaranku pun musnah. Yang ada hanyalah keterkejutanku yang kian memuncak, saat nampak olehku tubuh mungil yang tergeletak kaku tak berdaya dengan darah segar yang membasahi sekujur tubuhnya, hingga mengalir ke bawah kakiku.
Sebuah gitar tua yang patah tergeletak di sisi gadis kecil itu.

***

Aku tersadar dari tidurku, sembari melafalkan doa bangun tidur. Meninggalkan mimpi-mimpi yang sedari malam mengahantuiku. Aku termangu di atas tempat tidur, duduk bersila merenungkan apa yang kulihat dalam mimpiku semalam. Seketika itu, tanpa disadari air mataku mengalir, menuruni pipi, dan jatuh di pangkuanku.

Betapa malang nasib saudara-saudara kita di luar sana. Putra-putri bangsa yang seharusnya mempunyai mimpi yang tinggi, terpaksa harus mengakhiri mimpi mereka di kehidupan jalanan yang keras dan tak bersabat.

Kita sepatutnya saat ini bersyukur, akan apa yang telah diberikan Tuhan kepada kita. Orang tua yang lengkap, tempat tinggal yang layak, makanan dan kesehatan yang terjamin, kehidupan yang serba tercukupi, serta pendidikan yang memadai.
Sebagai putra dan putri bangsa, marilah kita membangun segenap mimpi yang kita miliki dan berusaha mewujudkannya. Demi kehidupan bangsa dan negara kita yang lebih baik di kemudian hari.

SAHABAT EMPAT HARIKU

Awalnya kita tak saling tatap, tak saling sapa, tak saling bicara. Awalnya tak ada makna yang tersirat dari pertemuan kita yg tak disengaja. Kita hanya membisu dalam diri individu yg tak mau tahu.

Empat hari lalu, saat aku berdiri di ambang pintu, ku pungut secarik kertas yg tergolek lesu di kakiku. Nampak beberapa nama yg menghiasi kertas putih itu. Aku pun mulai bertanya-tanya, siapa sebenarnya nama-nama itu? Siapa mereka, yg namanya tertulis di kertas itu?

Kini empat hari telah terlewati. Waktu nyaris terhenti tanpa disadari kemana ia pergi dan kapan ia datang menghampiri lagi. Aku pun kini mengerti akan 11 nama itu. Nama mereka yang tak akan pernah terhapuskan di setiap ingatanku.

Hanya empat hari, namun cukup membawa arti. Kini kita akan mulai berjalan sendiri. Maka jangan lupakan aku, ''sahabat empat hariku''. Jadikanlah empat hari lalu, sebagai awal persahabatan kita di hari-hari berikutnya.




Selamat berjuang kawan...
Selamat berjuang saudaraku...
Raihlah cita-citamu, sebagaimana mimpi yg telah kau bangun sejak dulu...!!!

BAKTI SOSIAL DI PANTI ASUHAN ADINDA



Saat merangkaikan kata demi kata dalam tulisan ini, saya pun mulai kembali mengingat memori 13 September silam. Suatu pengalaman pertama dalam hidup saya, melakukan kunjungan ke sebuah panti asuhan dalam rangka bakti sosial. Tepat jam 09.30 WIB, bersama tiga belas anggota Kelompok Filipina lainnya, kami berangkat menyusuri ruas-ruas kota surabaya yang ramai dengan deru klakson yang membahana. Hingga akhirnya kami pun sampai di ruas gang yang sempit, tempat dimana Panti Asuhan Adinda berada.

Suasana di panti kala itu masih sangat sepi. Hanya terlihat beberapa anak panti yang berlalulalang di sekitarnya. Beberapa menit kemudian, seorang lelaki paruh baya keluar dari dalam ruangan. Dengan langkah yang sedikit tergesa, beliau menghampiri kami yang saat itu tengah berjajar di halaman. “Naik saja ke atas, Mas, Mbak, biar saya panggil anak-anak dulu,” ucapnya pada kami. Dengan membawa beberapa bingkisan yang telah dipersiapkan sebelumnya, kami pun menaiki satu per satu anak tangga yang menjulang ke atas gedung.

Sesampainya di aula atas, kami meletakkan semua perlengkapan, mempersiapkan, dan dengan sabar menanti kedatangan seluruh anak-anak panti. Setelah beberapa waktu terlewati, rombongan anak panti pun mulai mengisi penuh ruangan. Segera saja kami memulai acara dengan suasana yang ceria disertai perasaan bahagia dari masing-masing dari kami karena bisa ikut berpartisipasi.



Setelah melakukan serangkaian acara, bakti sosial di Panti Asuhan Adinda pun berakhir pukul 12.30 WIB.

Rasa haru seketika meluap di sela-sela ruangan, saat kami saling berjabat tangan dengan mereka, anak-anak panti yang hebat. Meski hanya dalam hitungan waktu kami di sana, namun perasaan kami serasa telah ikut berbaur bersama anak-anak dan suasana panti.

Bagi saya pribadi, kegiatan bakti sosial di Panti Asuhan Adinda ini meninggalkan kesan yang begitu mendalam. Melihat senyum yang merekah di bibir mereka, membuat hati ini bergetar. Mereka tetap tersenyum dan berdiri tegar, meskipun cobaan yang menimpa mereka teramat besar. Kehilangan orang tua, keluarga dan tempat tinggal yang seutuhnya, tak membuat mereka putus asa. Dengan lantang mereka tetap mengobarkan semangat meraih cita-cita setinggi langit di angkasa.

Bercermin dari keseharian anak-anak di Panti Asuhan Adinda, membuat saya belajar untuk lebih menghargai hidup. Kita hendaknya mensyukuri semua karunia yang telah Tuhan berikan kepada kita sehingga kita tak hanya mengeluh, mengeluh, dan terus mengeluh kepada kehidupan.