Selasa, 30 Maret 2010

MASIH

Masih berkutat dengan laptop hingga saat tengah malam.
Ditemani cicit tikus yang bersahutan dari balik selokan. Baunya tak kalah hebat.
Diikuti alunan musik tetangga yang disetel kencang-kencang. Heran.
Sampai tengah malam. Masih dikejar-kejar tugas yang belum juga tuntas.
Benar-benar melelahkan. Namun terkadang mengasyikkan.

Dinar Prisca Putri
Surabaya, 31 Maret 2010

Senin, 29 Maret 2010

MENILIK PEMIKIRAN LIBERALISME DAN NEOLIBERALISME

Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR

Pada bahasan sebelumnya, telah dikaji secara singkat perihal paradigma realisme dan neorealisme yang merupakan dua prespektif paling dominan dalam studi hubungan internasional. Sedangkan dalam bahasan kali ini, saya akan mencoba menilik lebih jauh perihal pemikiran liberalisme dan neoliberalisme. Kembali saya akan menekankan pembahasan kedua prespektif tersebut dalam hal asumsi-asumsi apa saja yang mendasari keduanya, sistem internasional, agenda utama dan aktor utama dari kedua prespektif, serta pandangan mereka terhadap perdamaian dan stabilitas keamanan.

Bertentangan dengan asumsi-asumsi yang mendasari paham realisme, kaum liberal justru cenderung berpikiran positif dan optimis terhadap segala hal, terutama terhadap sifat dasar manusia, penilaian tentang hubungan internasional, serta keyakinan mereka terhadap kemajuan. Asumsi-asumsi dasar liberalisme itu sendiri, antara lain (1) pandangan positif tentang sifat dasar manusia; (2) adanya keyakinan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual; (3) bersikap optimis dan percaya terhadap kemajuan.

Kaum liberal umumnya memberikan pandangan yang positif terhadap sifat manusia. Mereka meiliki keyakinan besar bahwa akal pikiran dan rasionalitas yang dimiliki manusia dapat membantu dalam memacahkan berbagai masalah internasional. Kaum liberal menyadari bahwa konflik dan perang tidak dapat dihindarkan. Namun ketika manusia meenggunakan akal pikirannya, mereka dapat mencapai suatu kerjasama yang saling menguntungkan, bukan hanya dalam lingkup negara tetapi juga lintas batas internasional.

Tradisi liberal dalam HI sangat erat kaitannya dengan munculnya negara liberal modern. Filsuf liberal, dimulai dari John Locke di abad ketujuhbelas, melihat potensi besar bagi kemajuan manusia dalam civil society dan perekonomian kapitalis modern. Dan keduanya dapat berkembang dalam negara-negara yang menjamin kebebasan individu. Modernitas membentuk kehidupan baru yang lebih baik, dengan adanya kebebasan dari pemerintah yang otoriter serta tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Proses modernisasi juga mengakibatkan meningkatnya kemajuan dalam bidang teknologi. Di sinilah merupakan dasar dari keyakinan kaum liberal terhadap kemajuan.

Kaum realis kemudian menyikapi secara kritis terhadap pandangan kaum liberal. Paham realisme menganggap bahwa sistem internasional yang anarki tidak dapat dihilangkan dalam hubungan antarnegara. Oleh karena itu, optimisme kaum liberal tentang terwujudnya perdamaian dunia yang dicita-citakan tidak dapat dijamin.

Pertentangan kaum realis kemudian dijawab secara berbeda oleh kelompok liberal. Kelompok pertama yang disebut sebagai ‘liberalisme lemah’ dapat menerima beberapa kritikan kaum realis tentang kekekalan sistem internasional yang anarki. Sedangkan kelompok kedua yang dikenal sebagai ‘liberalisme kuat’ menegaskan bahwa anarki tidak selalu bermakna negatif, selama negara-negara demokrasi liberal dapat terkonsolidasi dengan baik dalam hubungan internasionalnya.

Liberalisme merupakan suatu paham yang menempatkan kebebasan individu pada level tertinggi di atas segalanya. Oleh sebab itu, agenda utama dari liberalisme adalah pembentukan kepentingan bersama dari tiap-tiap individu. Atau bisa dikatakan bahwa fokus utama dari paham liberal terletak pada manusia secara individual.

Aktor yang paling dominan dalam prespektif liberalisme ini adalah state dan non-state. Hal ini dikarenakan prespektif liberalisme menganggap individu sebagai aktor non-state yang bisa berusaha untuk memakmurkan dirinya sendiri. Sedangkan negara bertindak sebagai pengawas dan pembuat aturan atau kebijakan untuk semua tindakan yang dilakukan oleh individu agar tidak terjadi suatu penyelewengan.

Liberalisme erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan kebebasan tiap-tiap individu untuk melepaskan dirinya dari batas-batas kemiskinan dan budaya dalam menggantungkan nasibnya. Sehingga dalam hal ini tiap individu lebih menekankan sifat egois, namun juga tetap menekankan pada kerjasama. Namun individu dalam teori liberalisme bisa dikatakan baik karena dalam pembentukan perdamaian dan stabilitas keamanan tidak mengutamakan kekuatan militer, melainkan dengan cara membentuk kerjasama.

Setelah liberalisme, akan dilanjutkan mengenai paham neoliberalisme. Neoliberalisme dikembangkan dalam upaya untuk merespon tentang bagaimana menjelaskan bentuk-bentuk cooperation di dalam dunia yang anarki. Neoliberalisme berasumsi bahwa untuk mengumpulkan negara-negara menjadi suatu perkumpulan yang dapat melakukan suatu kegiatan bersama untuk mencapai perdamaian, maka negara-negara tersebut harus mengatasi serangkaian collective-action problems. Sehingga dalam sistem internasionalnya, paham neoliberalisme tidak menganggap bahwa suatu mekanisme pelaksanaan yang bersifat eksternal tidak terlalu tampak. Oleh karena itu, setiap perjanjian harus memaksa tiap individu untuk melakukan perjanjian tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa setiap negara harus menghindari kemungkinan berbuat curang.

Sama halnya dengan liberalisme, teori neoliberalisme juga menetapkan kebebasan individu sebagai agenda utamanya. Namun dalam hal ini liberalisme lebih menekankan individu sebagai aktor utama dalam meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan menolak anggapan kaum realis tentang negara sebagai aktor utama. Jadi, dalam liberalisme negara dianggap sebagai aktor yang tidak begitu penting, sedangkan dalam neoliberalisme negara dianggap sebagai aktor yang sangat penting. Karena jika negara sebagai institusi tidak dianggap penting sebagai aktor, maka kerjasama antarnegara akan sulit tercapai.

Perbedaan antara liberalisme dan neoliberalisme didasarkan pada pandangan neoliberalisme oleh Hayek yang mengatakan bahwa neoliberalisme menganggap aktor negara yang kuatlah yang bisa mencapai kepentingannya. Namun dalam penerapannya ada intervensi-intervensi dari luar dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah, yaitu intervensi golongan kapitalisme. Sehingga dalam teori neoliberalisme, pembentukan ideologi akan mengalah pada sistem kapital. Sedangkan dalam hal pembentukan perdamaian, sama dengan pembentukan perdamaian pada teori liberalisme, yaitu dengan pembentukan global goverment. Jadi, teori liberalisme dan neoliberalisme mempunyai kesamaan dalam bidang kebebasan individu dan pembentukan perdamaian dengan tidak menggunakan aspek militer.

Manurut saya, teori liberalisme dan neoliberalisme sangat bagus dalam penerapan kebebasan individu. Sehingga tiap individu bisa terus mencari inovasi baru dalam meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Dalam pembentukan perdamaian juga saya rasa cukup cemerlang dengan meniadakan suatu tindakan militer dalam proses perdamaian.
Namun dengan adanya intervensi dari kaum kapitalis, menyebabkan idealisme suatu negara dapat termakan oleh intervensi-intervensi kaum kapitalis. Sehingga dalam pembentukan kebijakan politik, akan ada perubahan ideologi di dalam negara tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya suatu filerisasi terhadap pihak-pihak kapitalis yang bisa mengintervensi kebijakan-kebijakan pemerintah.


DAFTAR PUSTAKA

Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. New York: Palgrave Macmillan.

Jackson, Robert dan George Sorensen.1999. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar

MENGKAJI KEMBALI PARADIGMA REALISME DAN NEOREALISME

Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR

Para scholar Ilmu Hubungan Internasional tentunya telah mengenal beberapa prespektif dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Diantaranya yaitu prespektif realisme dan neorealisme yang merupakan dua prespektif paling dominan dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Dan dalam bahasan kali ini, saya ingin mengkaji kembali keduanya lewat asumsi-asumsi yang mendasari kedua prespektif, sistem internasional, fokus utama dan aktor utama dari kedua prespektif, serta tentang perdamaian dan stabilitas internasional.

1. Realisme

Berawal dari sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II, realisme hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan idealis. Pandangan-pandangan yang menjadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan pemikiran para penganut idealisme. Adapun pandangan atau asumsi dasar dari prespektif realisme, antara lain (1) memandang secara pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang cenderung berbuat baik. Prespektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu bersifat jahat, berambisi untuk berkuasa, bereperang, dan tidak mau bekerjasama; (2) bersikap skeptis terhadap kemajuan politik internasional dan politik domestik; (3) meyakini bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual atau berpotensi menghasilkan konflik. Dan konflik-konflik internasional yang terjadi hanya bisa diselesaikan dengan jalan perang; (4) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan eksistensi atau kelangsungan hidup negara.

Kaum realis memandang bahwa sistem internasional adalah sebuah sistem yang bersifat anarki. Pandangan ini muncul karena tidak adanya government above then states. Oleh karena itu, elemen-elemen yang ada di dalamnya harus berjuang sedemikian rupa untuk membangun kekuatan, sehingga dapat menciptakan balance of power. Dalam sistem anarki seperti ini, tidak ada satu aturan pun yang mengatur hubungan antarnegara. Setiap negara berhubungan tanpa adanya aturan yang jelas. Sehingga, kemungkinan terjadinya konflik antarnegara sangatlah besar. Dalam sistem yang anarki, negara juga tidak bisa menggantungkan keamanan nasional dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, selain pada kemampuannya sendiri.

Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional sebagai prioritas atau fokus utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu ke dalam kategori high politics. Sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, yang termasuk ke dalam kategori low politics.

Realisme juga memfokuskan analisisnya pada power dan otonomi dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya keharmonisan diantara negara-negara, sehingga konsep self-help di sini menjadi penting. Dan kemampuan yang paling relevan, yaitu kemampuan di bidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral. Hanya saja dalam prakteknya, moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup negara dan penduduknya serta pencapaian kepentingan nasional.

Bagi kaum realis, negara merupakan aktor utama dalam panggung internasional. Sebagai aktor utama, negara berkewajiban mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam kancah politik internasional. Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal dan rasional. Maksudnya adalah dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara. Sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal.

Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatian pada potensi konflik yang ada di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional, mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan, dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan. Oleh karena itu, power adalah konsep kunci.

2. Neorealisme

Neorealisme bisa juga disebut sebagai structural realism. Substansi pemikiran realisme klasik masih menjadi dasar dalam pemikiran neorealisme ini. Perbedaanya hanya terletak pada pendekatan yang non-sistemik. Berbeda dengan prespektif realis yang mempersalahkan aktor (baik negara sebagai aktor maupun sifat dasar manusia) atas segala chaos yang terjadi di dalam dunia internasional, prespektif neorealisme lebih cenderung mempersalahkan sistem, sebagai faktor utama yang mendorong state-actor.

Kenneth Waltz telah memberikan dampak yang luar biasa dalam memahami pendekatan neorealisme dalam bukunya Theory of International Politics (1979). Asumsi utama yang diajukan antara lain (1) kondisi anarki hubungan state dengan aktor lainnya; (2) struktur sistem sangat mempengaruhi tingkah laku aktor; (3) self interest memaksa state yang hidup dalam kondisi anarki memilih self help daripada kooperasi.

Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena memang struktur internasional terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir dalam rangka merevisi realisme klasik, keberadaan aktor-aktor dirasa kurang begitu penting dalam prespektif neorealisme. Sebab pada dasarnya, sitem internasional beserta efeknya adalah faktor utama yang menentukan tindakan. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki, yaitu tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain, setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing.

Bertentangan dengan asumsi Morgenthau, Waltz mengklaim bahwa dalam hal ini, sistem bipolar lebih stabil daripada multipolar. Mengapa sistem bipolar dikatakan lebih stabil dibandingkan multipolar? Menurut Waltz, sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan stabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif, sebab lebih sedikit negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah. Dengan kata lain, stabilitas dalam neorealis adalah pencarian sebuah equilibrium. Dengan demikian, sistem bipolar diyakini Waltz lebih stabil dibandingkan sistem multipolar.

Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan.


DAFTAR PUSTAKA

Jackson, Robert & George Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar

Morgenthau, Hans J. 1985. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Alfre A. Knopf.

Viotti, Paul R. & Mark V. Kauppi. 1998. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalis, and Beyond. MA: A Viacom Company

Waltz, Kenneth Neal. 1979. Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley Pub. Co.

Sajak Sederhana--Untuk Adikku di Surga



Untuk adikku...

Aku ingin mengajakmu terbang bersamaku. Mengitari langit yang tinggi, lalu singgah di bumi. Bersama-sama melewati tapal batas yang tak seharusnya. Menjejaki tanah merah yang dingin. Dan, menghirup aroma embun yang singgah di pucuk-pucuk daun.

Aku ingin berlari. Tentunya bersamamu. Bersama merapal mantra yang terkadang sulit di eja. Mantra-mantra penuh cinta. Cintaku yang belum tuntas tersampaikan padamu.

Dinar Prisca Putri
Surabaya, 29 Maret 2010

American Fundamental Values's Quotation

Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR

“In the progress of personality, first comes a declaration of independence, then a recognition of interdependence.”
(Henry Van Dyke)

Henry Van Dyke adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika. Ia lahir pada tahun 1852 dan kemudian wafat pada usia 81 tahun. Semasa hidup ia pernah mengatakan bahwa dalam perkembangan kepribadian, pertama hadir sebuah deklarasi kemerdekaan, kemudian sebuah pengakuan saling ketergantungan.

Berdasarkan pernyataan Henry Van Dyke di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setelah dikumandangkannya deklarasi kemerdekaan Amerika, terciptalah sebuah ikatan persatuan yang kokoh diantara rakyat Amerika.

Menurut sejarahnya, pada tahun 1776 timbul revolusi oleh ke-13 negara koloni di Amerika. Mereka menyatakan dengan suara bulat tentang Decalaration of odependence pada tanggal 4 Juli 1776. Pernyataan itu berbunyi, “Adalah dengan sendirinya terang, bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa mereka oleh Tuhan dikarunia beberapa hak yang tidak dapat di tawar-gugat, di antaranya: kehidupan, kemerdekaan, dan kehendak mencapai kebahagiaan. Bahwa untuk melindungi hak-hak itu, pemerintah harus dilakukan oleh orang-orang yang menerima kekuasaannya dengan persetujuan mereka yang diperintah. Bahwa manakala sesuatu pemerintah membahayakan bagi pemeliharaan maksud itu, adalah hak rakyat untuk mengganti atau menghapuskan pemerintah itu, dan membentuk pemerintah baru.

Melihat hal tersebut, maka jelas bahwa masyakat Amerika adalah sebuah bangsa yang sangat menjunjung tinggi kedaulatan dan hak-hak asasi manusia. Hal itu sangat dimungkinkan oleh proses pembentukan tigabelas koloni yang sangat bersifat pluralis dan menekankan prinsip-prinsip liberalisme dalam berbagai hal, khususnya dalam hal ekonomi.

Setelah diadakan berbagai perundingan antara koloni Amerika dan Pemerintah Inggris, maka pada tanggal 20 Januari 1983, dilakukan “Perdamaian Paris” yang mana salah satu isinya adalah tentang pengakuan kedaulatan rakyat Amerika oleh Pemerintah Inggris.
Declaration of Independence itu sendiri mampu membuat rakyat Amerika bersatu dalam suatu ikatan persatuan. Hal tersebut kemudian menciptakan suatu perasaan saling bergantung (interdependence) di antara mereka, untuk bersama-sama menjunjung tinggi kedaulatan dan saling bekerjasama dalam mempertahankan kemerdekaannya.

American Political Heritage's Quotation

Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR

“Let us heed the voice of the people and recognize their common sense. If we do not, we not only blaspheme our political heritage, we ignore the common ties that bind all Americans.”
(Barbara Jordan)

Barbara Charline Jordan merupakan wanita kulit hitam pertama yang berhasil duduk dalam senat pada tahun 1966. Wanita berdarah Afrika–Amerika ini, seperti yang telah tersebut sebelumnya, pernah mengatakan, “Perhatikanlah suara rakyat dan hargailah pikiran mereka. Jika kita tidak melakukannya, kita tidak hanya mengutuk warisan politik kita, kita mengabaikan pertalian yang mengikat seluruh rakyat Amerika.”

Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Barbara Jordan tersebut, menurut saya tersembunyi sebuah arti bahwa Amerika tidak lagi menghiraukan suara rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi. Apalagi Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling getol mempromosikan sistem demokrasinya ke seluruh dunia. Keadaan yang seperti itu, menurut Barbara sama saja dengan tidak menghiraukan warisan politik Amerika sebagai sebuah negara demokrasi, sehingga keadaan tersebut secara tidak langsung dapat memutuskan ikatan yang telah terjalin antar warga negara Amerika. Tentu saja. Jika suatu pemerintahan demokrasi tidak mau lagi mendengarkan aspirasi rakyatnya, hal itu bisa saja menjadi momok yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan nasional.

Lalu apakah makna sebenarnya yang tersembunyi dibalik demokrasi Amerika? Demokrasi dalam makna yang sesungguhnya sebagai sebuah kekuasaan rakyat, sebenarnya merupakan sebuah proses yang dialektis. Ia adalah hasil dari perjuangan antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan pemerintah yang menjalankan kekuasaan tersebut. Dalam makna ini, tak ada yang disebut pelimpahan kekuasaan dari rakyat kepada pemerintah. Yang ada adalah pendelegasian kekuasaan dari rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan kepada pemerintah.

Amerika Serikat adalah negara yang mengklaim paling demokratis, namun pada kenyataannya banyak hal yang bertolak belakang dengan hal itu. William R. Nylen dalam bukunya "Participatory Democracy versus Elitist Democracy: Lessons from Brazil" (2003), menyatakan bahwa demokrasi AS telah menyimpang dari pengertian demokrasi sebagai kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi Amerika telah menjadi kendaraan bagi elite untuk mengamankan dan meluaskan kepentingannya, sembari mengasingkan kepentingan mayoritas rakyat Amerika. Rakyat Amerika kini merasakan betapa negara telah menjadi begitu kuatnya sehingga suara mereka kalah kencang dibandingkan dengan suara birokrasi kekuasaan.

MENGKAJI FENOMENA BARU YANG LAHIR DI ERA GLOBALISASI

Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR

Globalisasi. Kapan sebenarnya ia hadir ke tengah-tengah kita? Dan kapan ia mulai mewarnai berbagai aspek kehidupan di dunia? Globalisasi mulai menampakkan gaungnya pada sekitar tahun delapanpuluhan abad ini. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa telah menjajah bangsa lainnya secara militer maupun ekonomi. Istilah globalisasi itu sendiri pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt pada tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan.

Dalam bahasan kali ini, saya mencoba menyelidik fenomena baru apa saja yang hadir seiring dengan merebaknya globalisasi dan berusaha mengkajinya lebih jauh. Tulisan ini sendiri terutama menitikberatkan pada bidang ekonomi dan teknologi informasi. Dalam ranah ekonomi, saya akan mengambil contoh berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai salah satu fenomena baru yang lahir pada era globalisasi. Sedangkan dalam bidang teknologi informasi, akan diangkat tema mengenai e-government yang hadir sebagai wujud implikasi dari proses globalisasi.

World Trade Organization (WTO)

Seperti yang kita tahu, pada era pra globalisasi, pembangunan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Maka di era globalisasi seperti sekarang ini, mereka didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi global, yang secara logis telah mengalami perluasan aktor. Di era globalisasi, aktor yang bermain bukan hanya negara tetapi juga melibatkan perusahan transnasional (TNCs), bank-bank transnasional (TNBs), lembaga keuangan multilateral (Bank Dunia dan IMF), serta birokrasi perdagangan regional dan global seperti WTO yang merupkan Organisasi Perdagangan Dunia.

Berdirinya World Trade Organization (WTO) secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995, menjadi bibit persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas di antara semua negara. Perdagangan bebas dewasa ini menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh. Persetujuan-persetujuan yang ada dalam kerangka WTO bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih bersaing secara terbuka, fair dan sehat.

WTO merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. WTO juga memiliki beberapa tujuan penting. Pertama, mendorong arus perdagangan antarnegara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Kedua, memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih permanen, mengingat perundingan perdagangan internasional di masa lalu prosesnya sangatlah kompleks dan memakan waktu. Tujuan penting lainnya adalah untuk menyelesaian sengketa, mengingat hubungan dagang sering kali menimbulkan konflik-konflik kepentingan. Meskipun telah ada persetujuan-persetujuan dalam WTO yang sudah disepakati anggotanya, masih dapat terjadi kemungkinan perbedaan interpretasi dan pelanggaran. Sehingga diperlukan prosedur legal dalam penyelesaian sengketa yang netral dan telah disepakati bersama.

Sebagai organisasi antarpemerintah, WTO tentunya dikelola oleh pemerintah negara-negara anggotanya. Adapun fungsi utama didirikannya WTO adalah untuk memberikan kerangka kelembagaan bagi hubungan perdagangan antar negara anggota dalam implementasi perjanjian dan berbagai instrument hukum termasuk yang terdapat di dalam Persetujuan WTO.

E-Government

Tulisan ini salah satunya hendak mengangkat tentang e-government sebagai sebuah fenomena baru yang lahir dari proses globalisasi. Seperti diketahui bahwa globalisasi salah satunya ditandai dengan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi di berbagai aspek kehidupan dan tidak terbatas pada satu tempat dan waktu. Globalisasi juga menjadikan dunia tidak lagi dibatasi secara tegas dan jelas berdasarkan wilayah teritorial. Dengan kata lain, e-government salah satunya dipicu oleh globalisasi.

Lalu apa definisi dari e-government itu sendiri? Ada beberapa macam definisi tentang e-government. Salah satunya, menurut Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi nasional Pengembangan Elektronik Government, e-goverment merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan pemerintah yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Pada intinya, e-government adalah penyediaan pelayanan informasi dan komunikasi yang dijalankan oleh pemerintah kepada warga negara dan sektor bisnis melalui sarana teknologi informasi.

Adapun bentuk implementasi e-government di Indonesia, antara lain:
1. Penayangan hasil pemilu secara on-line dan real time.
2. RI-Net sebagai sistem yang menyediakan email serta akses internet kepada para pejabat.
3. Info RI. Penyedia informasi dari BIKN.
4. Penggunaan berbagai media komunikasi elektronik (internet) di beberapa pemerintah daerah tempat.

E-government ini tentunya juga membawa banyak manfaat, antara lain:
1. Informasi dapat disediakan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, tanpa harus menunggu dibukanya kantor pemerintah. Informasi dapat di dapat tanpa harus secara fisik datang ke kantor pemerintahan.
2. Meningkatkan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum.
3. Informasi yang mencukupi dan sangat mudah diperoleh.
4. Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien, seperti koordinasi pemerintahan yang dapat dilakukan melalui email atau bahkan video conferencing.

Namun mampukah pemerintah dalam menyediakan layanan berbentuk elektronis layaknya e-government? Seringkali pemerintah merasa kebingungan dikarenakan minimnya sumber daya manusia dan finansial yang dimiliki. Namun sebenarnya, langkah awal yang harus dimulai adalah dengan memberikan komitmen dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan melalui media elektronik, seperti e-government ini merupakan salah satu bentuk dalam peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. (*)


REFERENSI

Hidayat, Mochamad Slamet, dkk. 2006. Sekilas Tentang WTO (World Trade Organization). Jakarta : Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, Direktorat Jendral Multilateral Departemen Luar Negeri

http://www.sourceuk.net/sectors/egovernment