Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
Para scholar Ilmu Hubungan Internasional tentunya telah mengenal beberapa prespektif dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Diantaranya yaitu prespektif realisme dan neorealisme yang merupakan dua prespektif paling dominan dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Dan dalam bahasan kali ini, saya ingin mengkaji kembali keduanya lewat asumsi-asumsi yang mendasari kedua prespektif, sistem internasional, fokus utama dan aktor utama dari kedua prespektif, serta tentang perdamaian dan stabilitas internasional.
1. Realisme
Berawal dari sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II, realisme hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan idealis. Pandangan-pandangan yang menjadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan pemikiran para penganut idealisme. Adapun pandangan atau asumsi dasar dari prespektif realisme, antara lain (1) memandang secara pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang cenderung berbuat baik. Prespektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu bersifat jahat, berambisi untuk berkuasa, bereperang, dan tidak mau bekerjasama; (2) bersikap skeptis terhadap kemajuan politik internasional dan politik domestik; (3) meyakini bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual atau berpotensi menghasilkan konflik. Dan konflik-konflik internasional yang terjadi hanya bisa diselesaikan dengan jalan perang; (4) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan eksistensi atau kelangsungan hidup negara.
Kaum realis memandang bahwa sistem internasional adalah sebuah sistem yang bersifat anarki. Pandangan ini muncul karena tidak adanya government above then states. Oleh karena itu, elemen-elemen yang ada di dalamnya harus berjuang sedemikian rupa untuk membangun kekuatan, sehingga dapat menciptakan balance of power. Dalam sistem anarki seperti ini, tidak ada satu aturan pun yang mengatur hubungan antarnegara. Setiap negara berhubungan tanpa adanya aturan yang jelas. Sehingga, kemungkinan terjadinya konflik antarnegara sangatlah besar. Dalam sistem yang anarki, negara juga tidak bisa menggantungkan keamanan nasional dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, selain pada kemampuannya sendiri.
Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional sebagai prioritas atau fokus utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu ke dalam kategori high politics. Sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, yang termasuk ke dalam kategori low politics.
Realisme juga memfokuskan analisisnya pada power dan otonomi dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya keharmonisan diantara negara-negara, sehingga konsep self-help di sini menjadi penting. Dan kemampuan yang paling relevan, yaitu kemampuan di bidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral. Hanya saja dalam prakteknya, moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup negara dan penduduknya serta pencapaian kepentingan nasional.
Bagi kaum realis, negara merupakan aktor utama dalam panggung internasional. Sebagai aktor utama, negara berkewajiban mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam kancah politik internasional. Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal dan rasional. Maksudnya adalah dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara. Sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal.
Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatian pada potensi konflik yang ada di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional, mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan, dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan. Oleh karena itu, power adalah konsep kunci.
2. Neorealisme
Neorealisme bisa juga disebut sebagai structural realism. Substansi pemikiran realisme klasik masih menjadi dasar dalam pemikiran neorealisme ini. Perbedaanya hanya terletak pada pendekatan yang non-sistemik. Berbeda dengan prespektif realis yang mempersalahkan aktor (baik negara sebagai aktor maupun sifat dasar manusia) atas segala chaos yang terjadi di dalam dunia internasional, prespektif neorealisme lebih cenderung mempersalahkan sistem, sebagai faktor utama yang mendorong state-actor.
Kenneth Waltz telah memberikan dampak yang luar biasa dalam memahami pendekatan neorealisme dalam bukunya Theory of International Politics (1979). Asumsi utama yang diajukan antara lain (1) kondisi anarki hubungan state dengan aktor lainnya; (2) struktur sistem sangat mempengaruhi tingkah laku aktor; (3) self interest memaksa state yang hidup dalam kondisi anarki memilih self help daripada kooperasi.
Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena memang struktur internasional terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir dalam rangka merevisi realisme klasik, keberadaan aktor-aktor dirasa kurang begitu penting dalam prespektif neorealisme. Sebab pada dasarnya, sitem internasional beserta efeknya adalah faktor utama yang menentukan tindakan. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki, yaitu tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain, setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing.
Bertentangan dengan asumsi Morgenthau, Waltz mengklaim bahwa dalam hal ini, sistem bipolar lebih stabil daripada multipolar. Mengapa sistem bipolar dikatakan lebih stabil dibandingkan multipolar? Menurut Waltz, sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan stabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif, sebab lebih sedikit negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah. Dengan kata lain, stabilitas dalam neorealis adalah pencarian sebuah equilibrium. Dengan demikian, sistem bipolar diyakini Waltz lebih stabil dibandingkan sistem multipolar.
Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, Robert & George Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
Morgenthau, Hans J. 1985. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Alfre A. Knopf.
Viotti, Paul R. & Mark V. Kauppi. 1998. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalis, and Beyond. MA: A Viacom Company
Waltz, Kenneth Neal. 1979. Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley Pub. Co.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar