Sabtu, 17 April 2010

MENGIDENTIFIKASI KONSEP POWER, BALANCE OF POWER DAN HEGEMONIC STABILITY

Oleh: Dinar Prisca Putri

Power merupakan sebuah konsep yang seringkali digunakan dalam ranah politik dan juga dalam lingkup hubungan internasional. Namun, sampai sekarang definisi mengenai konsep power itu sendiri masih menjadi sebuah perdebatan. Salah satu masalah yang diperdebatkan adalah apakah power dipandang sebagai sebuah atribut perseorangan, kelompok, atau negara bangsa, atau apakah power dianggap sebagai hubungan antara dua aktor politik yang memeiliki keinginan berbeda?

Secara harfiah, power berarti kekuatan atau kekuasaan. Menurut Nicholas J. Spykman, power didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan manusia agar mengikuti kebiasaan yang diinginkan pemilik power melalui cara persuasi dan paksaan. Dari pengertian ini, power dapat dilakukan dengan menggunakan cara kekerasan seperti paksaan dan dengan cara coorperative seperti persuasi. Sedangkan Hans J. Morgenthau, salah satu tokoh pemikir realis, lebih suka mendefinisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik, dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan pemikiran serta tindakan aktor B.

Power terdiri dari segala sesuatu yang dimiliki manusia untuk menentukan dan memelihara kontrol atau kekuasaan atas orang lain dan dia (power) meliputi seluruh hubungan sosial, mulai dari kekerasan psikologis yang tidak kentara melaului mana seseorang bisa mengontrol orang lain. (Morgenthau, 1973: 9)

Sebagai unit multidimensional, power memiliki lima dimensi utama, dimana Deutsch mengemukakan tiga dimensi power (scope, domain, range) yang spesifik dan bisa diukur. Jadi, kelima dimensi power tersebut, meliputi scope (ruang lingkup), domain, range, costs dan means.

Pertama, melalui dimensi scope (ruang lingkup), Deustch ingin menunjukkan suatu kumpulan atau koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu, hubungan dan pergaulan yang secara efektif tunduk kepada power pemerintah. (Ibid: 34) Kumpulan tersebut meliputi semua jenis aktivitas pemerintah dalam lingkup internal dan eksternal.

Dimensi kedua, yaitu domain membahas tentang kepada apa dan siapa power tersebut dilaksanakan. Power tentunya biasa dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial, dan kekayaan. Deutsch membagi domain menjadi dua bagian, yaitu internal domain (wilayah dan populasi dalam batas-batas suatu negara) dan eksternal domain (wilayah dan populasi di luar batas suatu negara tetapi masih termasuk ke dalam “wilayah pengaruh”).

Kemuadian, range didefinisikan sebagai sebuah perbedaan antara imbalan yang tertinggi (keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa dilimpahkan atau dibebankan oleh si pemegang power kepada beberapa orang di dalam domainnya. (Deutch: 32) Range power sendiri juga dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu komponen internal (menggunakan statistik anggaran belanja pemerintah dan menentukan berapa banyak pengeluaran pemerintah untuk keamanan umum dan kesejahteraan sosial) dan komponen eksternal (secara logis mengikuti bahasan range internal power).

Sedangkan yang dimaksud dengan costs adalah biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama relevan terhadap penilaian pengaruh. (Baldwin,1989) Artinya, besar kecilnya biaya yang dianjurkan oleh salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang dijalankan.

Dimensi kelima adalah means. Oleh Baldwin (1985), ada beberapa kategori yang mampu mengklasifikasi jalur suatu pengaruh dalam hubungan internasional, yakni: jalur simbolik, jalur ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis.

Karena power yang dimiliki oleh tiap-tiap negara itu berbeda-beda, maka perlu adanya suatu keseimbangan antara power yang dimiliki masing-masing negara, yang disebut sebagai balance of power. Perimbangan kekuatan (balance of power) bukanlah konsep yang mudah diukur. Ernst Hans mengasumsikan empat prasyarat bagi eksistensi sistem balance of power, yaitu (1) multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat, yang muncul karena tidak adanya satu otoritas yang menguasai aktor-aktor tersebut; (2) distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem tersebut (3) persaingan dan konflik yang berkesinambungan di antara aktor-aktor politik yang berdaulat; (4) pemahaman implisit di antara para pemimpin negara yang besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan akan menguntungkan mereka.

Balance of power dalam sistem kekuasaan ini muncul untuk menghasilkan tiga kondisi. Pertama, keberagaman kedaulatan negara yang mucul haruslah tidak tunduk pada keterpaksaan dari salah satu legitimasi kedaulatan negara lain yang lebih berkuasa. Kedua, kontrol secara terus-menerus dari kompetisi akibat langkanya sumber daya atau nilai-nilai konflik. Ketiga, menyamaratakan distribusi status, kekayaan, dan potensi power diantara aktor politik yang masuk dalam suatu sistem.

Secara sistemik, balance of power digunakan untuk mencegah terjadinya sistem hegemoni yang didefinisikan sebagai sebuah dominasi suatu negara terhadap negara atau kelompok negara lain. Dengan kata lain, balance of power ini muncul karena adanya suatu pengaruh besar dalam bidang militer dan teknologi oleh negara pemilik power yang besar, yang kemudian disebut sebagai hegemoni. Walaupun pada kenyataannya, hegemoni suatu negara itu tidak dapat dihilangkan dengan menggunakan sistem perimbangan kekuatan (balance of power).

Konsep hegemoni dalam hubungan internasional dapat diartikan sebagai sebuah negara yang memimpin suatu kelompok negara. Sedangkan hegemonic stability menjelaskan tentang keberadaan rezim yang memiliki daya tarik nyata dan menjelaskan bahwa sistem ekonomi internasional sebagai bentuk power daripada sebuah rational exchange. Adapun latar belakang dari teori hegemoni stabilitas ini karena adanya sistem anarki internasional yang sangat diagungkan oleh kaum neorealis. Anarki yang dimaksud ialah kompleksitas sistem kedaulatan negara yang memicu munculnya dilema keamanan (security dilemma). Asumsi dasar terbentuknya teori ini adalah adanya stabilitas sistem internasional yang membutuhkan dominasi tunggal sebuah negara dengan tujuan memperkuat aturan interaksi antar anggota yang paling penting dalam sistem internasional.

Menurut saya, dapat disimpulkan bahwa definisi dari konsep power yang beranekaragam dan masih menjadi perdebatan oleh para ilmuwan politik tersebut telah menimbulkan pemahaman yang kompleks tentang balance of power maupun hegemonic stability. Namun, di sini saya setuju dengan teori stabilitas hegemoni, dimana hegemoni akan sulit untuk dihapuskan karena tiap negara yang mempunyai hegemoni pasti akan senantiasa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi negara lain agar negara tersebut bisa dikendalikan oleh pemilik hegemoni.



DAFTAR PUSTAKA

Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations Third Edition. Palgrave Macmillan: New York.
Columbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power. Abardin: Bandung
Griffiths, Martin dan O’Callaghan, Terry. 2006. International Relation: The Key Concept. Routlage Key Guides: New York.
Mc Keown, Timothy J.. 1983. International Organization:Hegemonic Stability Theory and 19th Century Tarrif Levels in Eourope. MIT Press.
Morgenthau, Hans J.. 1973. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Knopf: New York.

American Congress: Decision Making Quote

“In any moment of decision the best thing you can do is the right thing, the next best thing is the wrong thing, and the worst thing you can do is nothing.” (Theodore Roosevelt)

Baru-baru ini Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mendesak kongres untuk segera mengambil keputusan melalui pemungutan suara terbanyak. Beliau memaksa agar usulannya dalam reformasi kesehatan bisa segera dijalankan. Obama menginginkan kongres kembali kepada rancangan terbaru dari rencana US$ 950 triliun untuk melindungi warga Amerika Serikat yang tidak memiliki asuransi dan bayaran premi yang rendah. ”Saya meyakini Kongres Amerika Serikat berhutang kepada rakyat Amerika berupa sebuah keputusan akhir dalam reformasi kesehatan,” kata Obama dalam pidatonya di Gedung Putih.

Menurut saya, kata-kata bijak dari Theodore Roosevelt setidaknya bisa turut menanggapi hal di atas. Theodore Roosevelt, Jr. adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-26. Menjabat dua kali masa jabatan di tahun 1901 hingga 1909. Roosevelt adalah presiden Amerika Serikat yang termuda di usia 42 tahun. Saudara dekat dari Presiden Franklin Delano Roosevelt ini pernah mengungkapkan bahwa dalam berbagai kesempatan, memutuskan hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah hal yang benar. Hal terbaik berikutnya adalah hal yang buruk, dan hal terburuk yang bisa kamu lakukan adalah dengan tidak melakukan apapun.

Saya nampaknya setuju dengan pernyataan yang diungkapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt tersebut. Terus menunda-nunda tugas dan pekerjaan memang merupakan hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Begitu juga dalam hal pengambilan keputusan. Bisa diambil contoh di sini, seperti Kongres Amerika yang tidak segera mengambil keputusan terhadap pencanangan RUU Reformasi Kesehatan. Menurut saya, dengan tidak segera mengambil keputusan seperti itu sama halnya dengan menggantungkan nasib rakyat Amerika. Mereka pastinya juga mengharapkan sebuah keputusan yang terbaik dapat segera diambil.

Jika dilihat dari segi epistemologinya, pengambilan keputusan mermang merupakan sebuah solusi terbaik di dalam menyelesaikan berbagai macam masalah atau persoalan. Maka dari itu, berusalah mengambil sebuah keputusan yang kamu anggap itu paling benar untuk dilakukan. Tentunya itu akan jauh lebih baik daripada tidak melakukan apapun. Sebaiknya jangan menunda-nunda dalam mengambil suatu keputusan karena itu adalah hal yang tidak bagus. Dan dengan demikian, justru akan menyebabkan sebuah permasalahan tidak kunjung terselesaikan.

REFERENSI
http://cetak.batampos.co.id/categoryblog/2971-obama-desak-kongres-ambil-keputusan, diakses 13 April 2010.
http://quotations.about.com/od/stillmorefamouspeople/a/TheodoreRoosev2, diakses 13 April 2010.

American Congress System's Quote

“We have the best Congress money can buy.” (Will Rogers)

William Penn Adair Rogers (4 November 1879 – 15 Agustus 1935) adalah seorang aktor berkebangsaan Amerika. Ia sempat mengkritisi sistem kongres Amerika dengan mengatakan bahwa kita, dalam hal ini adalah rakyat Amerika, memiliki kongres yang baik, dimana kongres tersebut bisa dibeli dengan uang. Sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Will Rogers tersebut bagi saya adalah berupa sindiran atau kritiknya terhadap sistem kongres Amerika yang dinilai telah rusak akibat terjadi perputaran uang di dalamnya.

Sebagai contoh adalah perang yang dilancarkan oleh Amerika di Iraq, tidak hanya menebalkan kantong kontraktor-kontraktor raksasa Amerika, tapi juga membuat para wakil Kongres Amerika meraup untung yang tidak sedikit. Lebih dari 151 anggota Kongres Amerika memiliki saham lebih dari 250 miliar dolar di persusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan Departemen Pertahanan (Dephan) Amerika dalam perang Iraq.

Baru-baru ini, lembaga akuntan non-pemerintah, Office of Management and Budget (OMB) dalam laporannya menyebutkan bahwa perusahaan senjata, keamanan, dan jasa Amerika yang aktif di Iraq mendapat bayaran dari Dephan Amerika sebesar 275 miliar dolar hanya pada tahun 2006. Artinya setiap harinya mereka digaji sebesar 755 juta dolar.

Dengan mencermati kenyataan yang ada, tidak diragukan lagi bahwa perang Iraq juga dilatarbelakangi oleh keinginan-keinginan pribadi George W. Bush. Namun tentunya dia tidak bekerja sendiri, karena keuntungan luar biasa itu ternyata juga dirasakan oleh teman dan mereka-mereka yaang sependapat dengannya. Termasuk juga anggota Kongres Amerika.

Oleh karenanya, mereka yang tidak menyetujui penarikan mundur tentara Amerika dari bumi Iraq, tentu sangatlah berkepentingan di dalamnya. Mereka mungkin berharap bisa meraih laba yang lebih besar lagi. Dan hal ini terus berlanjut, sementara opini publik Amerika serta masyarakat internasional menilai Bush dan politik luar negerinya sebagai faktor utama dari munculnya segala bentuk permasalahan di Iraq.

American Fundamental Principle's Quotation

“My basic principle is that you don't make decisions because they are easy; you don't make them because they are cheap; you don't make them because they're popular; you make them because they're right.” (Theodore Hesburgh)

Dalam quotation di atas, Theodore Hesburgh, seorang pemuka agama sekaligus kepala salah satu universitas di Amerika pernah mengatakan bahwa prinsip dasarnya adalah bahwa kalian tidak membuat suatu keputusan karena semua itu mudah; kamu tidak membuatnya karena semua itu murah; kamu tidak membuatnya karena semua itu terkenal; kamu membuatnya karena semua itu benar.

Pemerintahan Amerika itu sendiri didasarkan atas lima prinsip utama, yaitu (1) persetujuan pemerintah, dimana rakyat berkedudukan sebagai sumber dari kekuatan pemerintahan; (2) pemerintahan yang tebatas atau pemerintah tidak berkuasa sepenuhnya; (3) rule of law, dimana pemerintahan dan siapa yang memerintah, keduanya dibatasi oleh hukum; (4) demokrasi, dimana di dalam sebuah sistem demokrasi rakyat lah yang memegang peran penting dalam pemerintahan; (5) perwakilan pemerintah, dimana dalam suatu sistem perwakilan pemerintah, rakyat memilih pejabat negara untuk menetapkan suatu kebijakan dan memimpin pemerintahan di atas kepentingan mereka sendiri.

Berdasarkan quotation Theodore Hesburgh yang telah tersebut di atas, saya bisa menilai bahwa kelima prinsip dasar dalam pemerintahan Amerika itu di buat karena memang semua itu diyakini kebenarannya. Pemerintah Amerika tidak memutuskan sebuah prinsip karena semua itu mudah, murah, atau terkenal. Tapi karena semua itu benar.

Benar dalam artian di sini adalah tidak merugikan salah satu pihak, terutama rakyat Amerika. Benar di sini berarti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam sistem pemerintahan Amerika. Seorang pejabat negara harus meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongannya. Sama halnya dengan rakyat, mereka harus bersedia melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dan kesemuanya itu diatur dan dibatasi oleh hukum. Jika dalam hal ini ada suatu hubungan timbal balik atau bisa dibilang suatu kerjasama yang baik antara pihak pemerintah dengan rakyat, maka sistem pemerintahan Amerika seharusnya bisa berjalan dengan baik sesuai dengan kelima prinsip dasar Amerika tersebut.

Jumat, 16 April 2010

TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL: MARXISME DAN NEO-MARXISME

Oleh: Dinar Prisca Putri

Kita tentunya telah mengenal beberapa teori dalam studi hubungan internasional. Pada minggu-minggu sebelumnya, kita telah selesai membahas teori realisme dan neo-realisme yang merupakan dua teori paling dominan dalam studi hubungan internasional, serta teori liberalisme dan neo-liberalisme. Sedangkan pada topik kali ini akan mengangkat seputar keberadaan teori marxisme dan neo-marxisme yang juga patut kita pelajari dalam studi hubungan internasional.

Marxisme merupakan sebuah teori dalam hubungan internasional yang dipelopori pertama kali oleh Karl Marx. Pada tahun 1847, Marx menyatakan bahwa sistem komunis harus dilawan tanpa kompromi. Dimana kaum kelas bawah, dalam hal ini adalah kaum proletariat (kaum buruh) harus senantiasa diberdayakan demi menciptakan suatu sistem masyarakat yang adil, tanpa terpecah ke dalam kelas-kelas.

Asumsi dasar dari teori marxisme itu sendiri, antara lain (1) berpandangan optimis terhadap gambaran tentang manusia; (2) dalam hubungan internasional, proses penyatuan human race dalam suatu dinamika kapitalisme dianggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional; (3) berbeda dengan pandangan kaum realis dan liberal tentang konflik dan kerjasama, marxisme lebih berfokus pada aspek ekonomi dan materi, dimana ekonomi dinilai lebih penting dibandingkan persoalan-persoalan yang lain sehingga dapat memfokuskan studi pada upaya peningkatan kelas.

Kaum marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital). Karl Marx sendiri mengakui bahwa adanya sistem kapitalis akan mampu mengeliminir keberadaan kelas dan mampu mendominasi sistem internasional. Melihat realita tersebut, para penganut marxis juga percaya bahwa suatu saat nanti dengan adanya revolusi politik akan mampu menghapuskan sistem kapitalis dan akan digantikan oleh sistem sosialis. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sistem kapitalis yang ada saat ini hanya akan menguntungkan satu pihak saja, yaitu kaum kapitalis atau pemilik modal. Dalam sistem internasional, marxisme membawa pengaruh kuat dalam perekonomian dunia, dimana kesetaraan dan kebebasan setiap elemen masyarakat mutlak dijunjung tinggi.

Sedangkan yang menjadi agenda utama dari marxisme ialah adanya pemahaman terhadap komunitas sosialis yang mungkin akan menggantikan proses eksploitasi dan ketidaksetaraan melalui suatu asas kebebasan dan kooperasi.

Sementara itu, aktor paling dominan yang berperan penting dalam teori marxisme adalah kelas-kelas tanpa terkecuali. Dalam teori marxis, negara bahkan dianggap tidak ada karena negara sendiri dinilai dapat menjadi suatu penghambat dalam upaya pencapaian kesejahteraan individu. Dalam hal ini, baik kaum borjuis maupun proletar harus mampu bekerjasama demi tercapainya perdamaian dan strabilitas keamanan internasional.

Dalam upaya menegakkan perdamaian dan stabilitas keamanan internasional, teori marxisme ini mengedepankan adanya penghapusan kelas-kelas. Sehingga jika kelas-kelas tersebut dihapuskan, maka tidak akan ada lagi konflik-konflik antar kelas yang terjadi. Karena pembentukan kelas-kelas, menurut marxisme, merupakan faktor utama yang memicu terjadinya konflik.

Sedangkan pada neo-marxisme, gagasan-gagasan awal Marx masih dipakai sebagai landasan untuk melepaskan manusia dari belenggu eksploitasi dan ketidaksetaraan. Asumsi dasar dari neo-marxisme pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan asumsi marxisme. Hanya saja jika dibandingkan dengan marxisme, asumsi neo-marxisme lebih bersifat struktural. Yang diasumsikan oleh neo-marxisme adalah sistem internasional yang terbagi berdasarkan kelas, menurut Immanuel Wallerstein, yaitu core, semi-periphery, dan periphery. Core adalah negara-negara yang dominan dalam dunia, yang sebagian besar adalah kaum kapitalis. Sebagai contoh Amerika Serikat dan Inggris. Semi-periphery adalah negara dunia kedua dengan tingkat perekonomian yang cukup baik, sehingga berpengaruh dalam dunia. Contohnya India dan China. Sedangkan negara periphery adalah negara dunia ketiga, yaitu negara berkembang. Negara-negara kelas periphery ini sebagian besar berada pada kawasan Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Pada intinya, neo-marxisme membuat sistem internasional dunia menjadi terstruktur, sehingga terdapat sistem tersendiri dalam hubungan antar negara.

Neo-marxisme juga memberikan analisisnya tentang kelas sebagai aktor utama dalam hubungan internasional dan keadilan atau kesetaraan internasional sebagai landasan terpenting. Perbedaan yang paling mendasar antara neo-marxisme dan marxisme adalah kemampuannya yang lebih bersifat konseptual dan metodologis dalam menggunakan teori-teori yang disusun oleh Marx.

Neo-marxisme sendiri, seperti yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya merupakan hasil dari teori marxisme. Sehingga aktor dan agenda utama dari teori neo-mearxisme tidak jauh berbeda dengan teori marxisme. Upaya dalam pencapaian perdamaian dan stabilitas keamanan internasional juga hampir sama. Pencapaian perdamaian menurut teori neo-marxisme adalah dengan cara kerjasama antar kelas-kelas sosial yang ada.

Saya pribadi, secara garis besar menyetujui upaya penghapusan kelas-kelas yang diusung oleh teori marxisme dan neo-marxisme. Sehingga pengeksploitasian dari negara-negara kapitalis bisa diminimalisir. Menurut saya, tiap-tiap kelas, seperti kelas borjuis dan proletar dalam teori marxisme, seharusnya bisa saling bekerjasama demi terwujudnya suatu perdamaian dan stabilitas keamanan internasional. Karena jika terdapat salah satu pihak saja yang mendominasi, maka akan berpengaruh terhadap sistem perpolitikan internasional.

Namun menurut sejarah, kelas-kelas yang ada tersebut sulit untuk ditingkatkan, seperti negara-negara yang berada di kelas periphery akan sulit untuk meningkatkan kelasnya menjadi semi-periphery atau core. Bisa dipahami bahwa teori marxisme dan neo-marxisme ingin menghilangkan kelas-kelas tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini akan sulit untuk diwujudkan, mengingat eksploitasi yang terjadi oleh kelas tertentu terhadap kelas lainnya masih sangat mendominasi dan masih sangat kentalnya teori interdependensi.


DAFTAR PUSTAKA

Linklater, Andrew. 2005. Theories of International Relations Third Edition: Marxism. New York: Palgrave Macmillan.
Wallerstein, Immanuel. 1996. Internaional Theory:Positivism and Beyond. Cambrigde University Press.
http://www.marxists.org/indonesia/archive/plekhanov/problems.pdf