Minggu, 06 November 2011

MANAJEMEN SUMBER DAYA MANUSIA

Oleh: Dinar Prisca Putri (070912068)


Hermann dan Perlmutter mengembangkan sebuah model yang mempertimbangkan empat strategi kompetitif (home replication, multidomestik, global atau transnasional) untuk menentukan apakah pendekatan organisasi bagi manajemen sumber daya manusia harus etnosentris, polisentris, regiosentris, atau geosentris (Wild, 2008: 542). Etnosentris terkait dengan membawa dan mempromosikan karyawan berdasarkan bingkai negara asal dengan perusahaan induk sebagai acuan. Polisentris terkait dengan mempekerjakan dan mempromosikan karyawan berdasarkan konteks lokal tertentu di mana anak perusahaan (subsidiari) beroperasi. Regiosentris terkait dengan mempekerjakan dan mempromosikan karyawan berdasarkan konteks regional tertentu di mana anak perusahaan beroperasi. Sedangkan geosentris yang digunakan di sini, berkaitan dengan mempekerjakan dan mempromosikan karyawan berdasarkan kemampuan serta pengalaman tanpa mempertimbangkan ras atau kewarganegaraan. Selanjutnya, bersama dengan keputusan itu, para karyawan yang digunakan dalam organisasi dapat diklasifikasikan ke dalam salah satu dari tiga kategori, yaitu (1) warga negara asal atau warga negara induk (PCNs); (2) warga negara tuan rumah (HCNs), dan (3) warga negara ketiga (TNC) (Wild, 2008: 542).

Perekrutan dan seleksi karyawan, sering disebut sebagai staffing, di mana harus ditentukan dengan cara yang konsisten dengan salah satu dari empat pendekatan manajemen sumber daya manusia. Perusahaan dengan orientasi strategi internasional yang utama (ditandai dengan tekanan rendah untuk pengurangan biaya dan tekanan rendah untuk respon lokal) dapat mengadopsi kebijakan kepegawaian etnosentris. Dalam pendekatan ini, sebagian besar keputusan dibuat di markas besar, dengan menggunakan kerangka negara asal (Wild, 2008: 542). Ketika orientasi utama strategis perusahaan adalah multidomestiknya, dengan tekanan rendah untuk pengurangan biaya dan tekanan tinggi untuk respon lokal, pendekatan polisentris dapat digunakan, di mana melibatkan kebijakan sumber daya manusia yang diciptakan pada tingkat lokal dalam konteks tertentu di mana operasi lokal beroperasi (Wild, 2008: 545).
Perusahaan dengan pendekatan strategis regional, dengan tekanan sedikit lebih tinggi untuk pengurangan biaya dan tekanan sedikit lebih rendah untuk respon lokal dari strategi multidomestiknya, dapat menggunakan pendekatan regiosentris (Wild, 2008: 546). Dalam pendekatan ini, karyawan daerah yang dipilih untuk posisi kunci di kawasan, menggunakan berbagai HCNs dan TNC. Perusahaan dengan orientasi strategis transnasional, didorong secara bersamaan oleh tekanan tinggi untuk pengurangan biaya dan tekanan tinggi untuk respon lokal, mengikuti kebijakan staf geosentris (Wild, 2008: 547). Organisasi-organisasi ini memilih orang terbaik untuk pekerjaan masing-masing tanpa mempertimbangkan asal-usul kebangsaan dan karena itu dapat memanfaatkan keuntungan dari setiap kebijakan kepegawaian.

Sementara mengenai penyeleksian dan pelatihan agak beragam, dimana hal tersebut bergantung pada apakah kandidat berasal dari negara asal, negara tuan rumah, atau negara ketiga. Umumnya sedikit lulusan perguruan tinggi yang baru lulus langsung direkrut ke luar negeri. Biasanya mereka menghabiskan beberapa tahun terlebih dahulu di perusahaan domestik (induk) kemudian masuk ke operasi internasional perusahaan. Bila perusahaan merasa mungkin akan mengirim pekerja negara asal ke luar negeri, maka perusahaan akan menuntut mereka untuk mempelajari bahasa dan budaya dari negara tujuan mereka (Wild, 2008: 547). Penduduk negara asal dengan pengalaman luar negeri yang baru direkrut mungkin menjalani masa pelatihan yang mirip tetapi lebih pendek (Wild, 2008: 547).

Kriteria umum dalam menyeleksi pekerja-pekerja negara asal juga diterapkan pada warga negara tuan rumah. Bagaimanapun juga, biasanya pelatihan bagi penduduk negara tuan rumah akan berbeda dengan pelatihan bagi penduduk di negara asal karena penduduk tuan rumah kemungkinan besar kurang memiliki pengetahuan mengenai teknik bisnis terkini dan mengenai perusahaan (Ball, 2007: 389). Sedangkan merekrut personel yang bukan merupakan penduduk negara asal ataupun negara tuan rumah sering kali menguntungkan. Penduduk negara ketiga mungkin menerima gaji dan keuntungan yang lebih rendah, daripada pekerja negara asal, dan mereka mungkin datang dari negara yang kebudayaannya mirip dengan negara tuan rumah (Wild, 2007: 549).
Ekspatriat dapat diartikan sebagai seseorang yang tinggal di luar negara asal, salah satunya bisa atas alasan pekerjaan. Bagaimanapun, penugasan pekerjaaan ke luar negeri tersebut dapat menjadi tiket menuju kejayaan, jika dapat mengambil langkah yang tepat sebelum mulai bergerak. Sebaiknya aturlah semua itu dengan seseorang yang memiliki posisi yang cukup tinggi dalam hierarki perusahaan untuk menjadi penasihat anda. Orang tersebut harus terus memberikan saran dan informasi mengenai perubahan dan perkembangan yang terjadi di perusahaan asal, tetap mempertimbangkan posisi anda, dan tidak melupakan anda begitu saja di sana (Wild, 2008: 541). Sebelum mengambil pekerjaan tersebut, anda harus mengerti apa sebenarnya yang perusahaan harapkan untuk diselesaikan.

Tidak menutup kemungkinan bahwa perusahaan akan melupakan atau tidak menghargai anda, meskipun semua usaha dan tindakan pencegahan sudah dilakukan. Oleh karena itu, anda harus pintar-pintar mengambil keuntungan dari penugasan anda ke luar negeri, seperti dengan melakukan pekerjaan dengan sebaik-baiknya, mempelajari pasar yang baru, menambah kefasihan berahasa sehingga memudahkan dalam berkomunikasi dan mempelajari budaya, serta membuat jaringan kerja (Ball, 2007: 393). Hal-hal tersebut dengan demikian akan membuat anda bernilai di mata perusahaan-perusahaan lain dan membuat mereka menyadari keberadaan anda.
Sembilan dari sepuluh kegagalan ekspatriat berkaitan dengan keluarga. Pasangan suami istri yang tidak bahagia adalah alasan terbesar bagi para pekerja untuk meminta pulang lebih awal, dan biaya perpindahan eksekutif tingkat tinggi dapat mencapai ratusan ribu dolar (Wild, 2008: 551). Permasalahan ini yang kemudian membuat perusahaan mulai mempersiapkan dan membantu keluarga-keluarga ekspatriat. Bantuan yang diberikan bisa berupa pelatihan budaya dan bahasa dari negara tuan rumah, bantuan dalam pencarian rumah, dan bagi mereka yang baru pindah dapat diberikan bantuan berupa kesempatan berbelanja kebutuhan sehari-hari dan perabot rumah tangga dengan penduduk lokal atau para ekspat yang telah berada di negara tuan rumah terlebih dahulu (Bull, 2007: 393-394).

Mengenai pelatihan bahasa, para pengguna bahasa Inggris cenderung terjebak dalam jebakan bahasa, yaitu situasi dimana seseorang yang melakukan bisnis internasional hanya dapat berkomunikasi dengan menggunakan bahasa dari negara asalnya sendiri (Wild, 2008: 553). Padahal seperti yang kita ketahui bahwa bahasa Inggris telah menjadi lingua franca atau bahasa kedua bagi semua orang di dunia (Wild, 2008: 553). Dapat dikatakan bahwa posisi tertinggi di dunia modern seperti sekarang ini dipegang oleh orang-orang yang fasih dalam berbahasa internasional dan mengerti bahasa yang bukan merupakan bahasa mereka. Namun hal tersebut tidak berarti menunjukkan bahwa bahasa Inggris telah menguasai kehidupan Eropa. Menurut Uni Eropa, hanya 47 persen dari orang Eropa Barat (termasuk Inggris dan Inrlandia) yang mampu berbahasa Inggris dengan cukup baik untuk dapat digunakan dalam sebuah pembicaraan (Ball, 2007: 396).
Bagaimana dengan kompensasi? Menyusun sebuah rancangan kompensasi yang adil dan konsisten, namun tidak berlebihan dalam memberikan kompensasi terhadap eksekutif luar negeri adalah sebuah tugas yang menantang dan kompleks. Praktik pemberian gaji yang sama bagi warga negara asal dan rekan dalam negeri mereka, memberikan konsistensi yang sama di seluruh dunia untuk bagian dari paket kompensasi ini (Ball, 2007: 404). Karena penggunaan warga negara ketiga yang meningkat, pekerja-pekerja tersebut biasanya diperlakukan dengan cara yang sama. Di negara-negara yang mengharuskan adanya bonus tahunan dan uang saku bagi penduduknya, warga lokal mungkin menerima gaji yang tampak lebih tinggi daripada yang dibayarkan kepada ekspatriat, walaupun perusahaan biasanya memberi pembayaran ekstra untuk mencegah ketertinggalan ekspatriat dalam hal ini (Ball, 2007: 404).

Bentuk kompensasi lainnya adalah berupa uang saku dan bonus. Uang saku adalah kompensasi bagi para pekerja yang ditambahkan ke gaji pokok, karena adanya pengeluaran lebih ketika harus tinggal di luar negeri (Ball, 2007: 405). Uang saku yang paling umum diberikan adalah untuk tempat tinggal, biaya hidup, perbedaan pajak, pendidikan dan perpindahan. Sedangkan bonus tidak seperti uang saku. Bonus merupakan kompensasi bagi para pekerja ekspatriat yang ditambahkan ke gaji pokok dan uang sakunya, karena adanya kesulitan hidup, ketidaknyamanan, atau bahaya yang harus dihadapinya (Ball, 2007: 407). Bonus tersebut mencakup premium luar negeri, pembayaran atas pemutusan kontrak, dan izin pulang ke negara asal.
Sementara itu di satu sisi, paket kompensasi bisa menjadi sesuatu yang lebih rumit. Paket kompensasi bagi para ekspatriat dapat mencakup banyak jenis pembayaran atau penggantian biaya, dan harus mempertimbangkan nilai tukar serta inflasi (Ball, 2007: 408). Semua uang saku dan suatu presentase dari gaji pokok biasanya dibayarkan dalam mata uang negara tuan rumah. Alasan mengapa dilakukan praktik demikian adaah untuk mengurangi bagian lokal dari gajinya, sehingga menurunkan pajak penghasilan di negara tuan rumah (Ball, 2007: 408). Selain itu karena para pekerja ekspatriat memiliki banyak pengeluaran yang harus dibayar dalam mata uang negara asalnya (Ball, 2007: 408). Karena kebanyakan kompensasi untuk para ekspatriat biasanya dihitung dalam mata uang negara tuan rumah, tetapi disesuaikan dengan mata uang negara asal untuk keperluan penyetaraan kompensasi di seluruh perusahaan, suatu nilai tukar mata uang juga harus dipilih. Permasalahan yang sulit diselesaikan biasanya muncul di negara-negara yang menerapkan pengendalian pertukaran dan mata uangnya tidak dapat dikonversikan (Ball, 2007: 409).

Dalam semua pembahasan ini, telah dijelaskan mengenai kompensasi bagi para ekspatriat yang diberikan status internasional. Hanya karena berasal dari negara lain, tidak secara otomatis memberikan pekerja semua keuntungan yang ada (Ball, 2007: 411). Terkadang perusahaan mempromosikan pekerja tuan rumah untuk mendapatkan status internasional walau tanpa memindahkan mereka. Hal ini berarti memberikan penghargaan pada orang-orang yang bernilai tinggi bagi perusahaan dan mencegah mereka meninggalkan perusahaan untuk mencari pekerjaan yang lebih baik di tempat lain. Oleh karena itu, status internasional berarti diberikan beberapa atau semua uang saku dan bonus seperti yang telah dibahas, serta bisa saja terdapat pembayaran lain, tergantung pada kondisi individu dan imajinasi masyarakat (Ball, 2007: 412).

Pada akhirnya dapat ditarik kesimpulan bahwa pengetahuan tentang bahasa suatu kelompok masyarakat merupakan hal yang sangat mendasar untuk mengerti kebudayaannya dan mengetahui apa yang sedang terjadi, sebagaimana yang harus dilakukan oleh setiap manajer yang efektif. Eksekutif suatu perusahaan internasional mungkin bersumber dari negara asal, negara tuan rumah, atau negara ketiga. Sementara perbedaan kebudayaan, bahasa, kemampuan dan pengalaman mereka dapat memperkuat manajemen perusahaan. Di lain pihak, semakin banyaknya jumlah keluarga dengan dua karier akan menambah kerumitan dalam mengakomodasikan pasangan seorang eksekutif yang dipindah ke negara lain. Oleh karena itu, paket-paket kompensasi manajer ekspatriat juga dapat menjadi sangat rumit. Di antara sumber-sumber kerumitannya adalah fluktuasi nilai tukar mata uang dan perbedaan laju inflasi. Elemen-elemen dasar dari paket-paket kompensasi tersebut adalah gaji, uang saku, dan bonus.

Daftar Pustaka:
Ball, Donald E. 2007. International Business: Bisnis Internasional, Tantangan Persaingan Persaingan Global. Jakarta: Penerbit Salemba Empat.
Wild, John J., Wild, Kenneth L., & Han, Jerry C. Y. 2008. “International Strategy and Organization” dalam International Business: The Challenges of Globalization. New Jersey: Pearson Prentice Hall.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar