Minggu, 30 Desember 2012
Like Puzzles
“Man and woman are like puzzles.” –William Sakhespeare (1564-1616)
Saat kau membeli sebuah mainan – puzzle, kemudian mulai menyusunnya, mengaduk-aduk, mencari-cari pasangan yang tepat untuk mengisi bagian-bagian yang masih kosong, percayalah bahwa kepingan-kepingan puzzle tersebut menyimpan sebuah filosofi tersendiri. Ya, ketika kau mulai memainkan kepingan-kepingan itu, ia pun mulai bercerita padamu sekelumit konsep tentang kehidupan dan terlebih bercerita tentang makhluk berwujud pria dan wanita – adam dan hawa.
Puzzle itu ibarat kehidupan. Kehidupan yang saat ini tengah berjalan. Kehidupan yang terkadang mudah seperti ketika kau menemukan pasangan-pasangan puzzle yang tepat dan kerap kali terasa sulit seperti ketika kepingan-kepingan itu belum juga menemukan kepingan lain yang mampu melengkapinya. Jika demikian, menyusun puzzle sama halnya dengan menyusun kehidupan. Ada kalanya hidupmu mengalami carut marut yang menyesakkan, karena cinta yang tak tersampaikan, cita yang tak terwujudkan, atau karena peradaban yang semakin tak berkeadilan, benar-benar seperti kepingan puzzle yang masih berserakan itu. Lalu kau mulai menyusunnya, menata hidupmu kembali dengan sangat berhati-hati. Dalam prosesnya, tentu selalu ada cerita tentang tangis dan tawa, tentang kemudahan dan kesulitan, kegelisahan dan kepercayaan, serta keterpurukan dan kebangkitan. Dan ketika puzzle itu telah tersusun, maka kehidupanmu menjadi lengkap dengan segala pelajaran tentang sabar dan ikhlas akan masa lalu dan bijaksana dalam menghadapi hari ini serta esok.
Sementara puzzle juga menceritakan makhluk Tuhan bernama pria dan wanita. Keduanya tak ayal seperti kepingan-kepingan puzzle itu. Keduanya diciptakan untuk berpasang-pasangan dan saling mengisi, melengkapi. Fahd Djibran (2011) dalam bukunya, “Yang Galau, yang Meracau!” mengungkapkan bahwa Jerry (Tom Cruise) dalam film Jerry Maguire (1996) berkata pada Dorothy Boyd (Reene Zellweger), “You complete me.” Ketika itu, Jerry hendak menyatakan bahwa meskipun keseluruhan dirinya tampak berlawanan dengan sikap dan sifat yang dimiliki Dorothy, ia mengakui bahwa sebenarnya kehadiran Dorothy dalam hidupnya justru telah melengkapi banyak hal yang tak dimilikinya – kekosongan dalam diri Jerry (Djibran, 2011: 103). Dalam hal ini, perbedaan memang seharusnya tidak menjadi penghalang bagi setiap pasangan – pria dan wanita. Karena sejatinya, perbedaan itulah yang nanti menjadi pelengkap dari yang tidak dimiliki. Bagaimanapun, pria dan wanita diciptakan untuk saling menggenapi dan melengkapi satu sama lain, agar saling mengisi ruam-ruam kosong dalam diri dan kehidupan mereka, just like puzzles.
“Itulah sebabnya kukatakan kepadamu. Bagiku, kaulah perempuan paling sempurna yang kumau. Sebab mencintaimu, menggenapkan seluruh hidupku.”-Fahd Djibran, 2011
Bojonegoro, 17 Januari 2012
Minggu, 08 April 2012
Gagas Media Writing Competition
Holiday Writing Challenge
Judul Buku : A Lady of Persuasion
Pengarang : Tessa Dare
Halaman : 43-44
Tetap saja, mereka berhasil masuk ke aula dansa dengan mulus, pada waktu yang sesuai dengan alunan musik. Karena Toby adalah seorang pedansa yang ulung, dan Isabel menyerahkan diri sepenuhnya dalam bimbingannya.
“Kau berdansa seperti dalam mimpi.” Ujar Toby kepada Isabel. Mimpinya, malam ini. Mungkin selama seminggu kedepan.
Tidak, itu tidak benar,” jawab Isabel. “Aku tidak pernah suka berdansa, tapi...”
“Tapi...?”
Isabel menghela napas yang beraroma brandy dan penyerahan. “Tapi, kau menikmati berdansa denganmu.”
Wah, puji Tuhan atas kemenangan kecil ini.
“Miss Grayson,” kata Toby, berpura-pura terkejut, “jangan katakan padaku kau bersenang-senang. Di sebuah pesta dansa?” Ketika Isabel merona, Toby Bergumam. “Jangan khawatir. Rahasiamu aman bersamaku. Tapi, hanya jika kau mau berjanji padaku.”
“Jani apa? Tanya Isabel, menatap Toby dengan sorot waspada.
“Berjanjilah padaku kau tidak akan menikah dengan Whittlesby. Jangan dia, atau pria mana pun yang mirip dengannya.”
“Aku tidak menjanjikan hal semacam itu padamu. Memangnya siapa kau, berani mengatakan padaku siapa yang boleh dan tidak boleh kunikahi?”
“Siapa aku?” Toby tertawa. “Aku adalah pria yang sudah kau beri tugas untuk mencarikan suami yang tepat untukmu. Whittlesby dan teman-temannya termasuk ke kategori tidak tepat.”
“Tapi, kau tidak mengerti. Aku memiliki tujuan, prioritas.” Isabel menatap ke langit-langit aula dansa. “Aku berharap bisa menjadi wanita yang berpengaruh. Hanya itu satu-satunya cara aku bisa membawa efek terhadap masyarakat. Jika aku tidak menikah dengan pria yang sesuai dengan tujuanku, sebaiknya aku tetap tidak pernah menikah.”
“Jika kau tidak menikah dengan belahan jiwamu, kau akan menyesalinya seumur hidupmu. Dengarkan aku, Isabel.”
Isabel terkejut saat Toby menggunakan nama depan wanita itu. Bagus. Sekarang, Isabel memperhatikannya. Terlebih lagi, ia juga suka menyebut nama itu.
“Isabel, kau adalah wanita yang cerdas. Kau masih muda, penuh idealisme dan gairah yang meledak-ledak. Kau tidak kekurangan uang atau pun kasih sayang keluarga. Dan kau juga merupakan wanita paling cantik di ruangan ini. Senjata ampuh yang mampu membuat seluruh pria di London bertekuk lutut, jika kau menebarkan pesonamu pada mereka. Demi Tuhan, jangan belenggu dirimu sendiri dengan puding yang bergelar. Kekuatan yang kau cari sudah ada dalam dirimu.”
“Kumohon, simpan saja pujian omong kosongmu.”
Di bawah ini adalah cerita versiku menggunakan dialog di atas, namun dengan karakter tokoh dan latar belakang mereka yang aku ciptakan sendiri:
Sebuah rumah mewah khas victorian berdiri kokoh di daerah Hampstead yang terkenal sebagai salah satu kawasan elite di kota London. Tidak seperti rumah lainnya yang nampak lengang malam itu, maison bergaya klasik tersebut justru terlihat lebih gemerlap dari biasanya. Irama musik waltz terdengar jelas dari salah satu ruangan tempat para tamu undangan berkumpul. Sebagiaan besar undangan adalah kolega bisnis dari keluarga Grayson yang hadir dalam pesta dansa yang digelar untuk memperingati ulang tahun ke-30 pernikahan Henry Grayson dan istrinya. Dalam suasana hangat yang penuh perbincangan ringan, mereka berkumpul di ruang tengah yang didekorasi dengan sejumlah furniture dalam skala besar dan ornamen-ornamen interior dengan detail ukiran. Dipertegas dengan dinding yang ditutup wallpaper berpola dedaunan berwarna hijau tua dan lantai permadani berpola oriental dengan warna gold.
Sementara di sudut yang lain, suasana terkesan lebih dingin. Bukan karena angin yang tiba-tiba menyelinap masuk dalam celah-celah gaun merah Isabel, melainkan akibat atmosfer yang tercipta antara dia dan Toby. Isabel Grayson adalah putri tunggal dari pasangan Henry Grayson dan Clara Magnofa. Diusianya yang masih terbilang muda, tidak akan ada yang menyangka bahwa wanita bertubuh semampai dan berambut pirang sebahu itu adalah seorang wanita yang pernah menikah sebanyak empat kali dalam lima tahun. Tidak ada seorangpun yang benar-benar mengetahui kehidupan pribadi Isabel Grayson. Bahkan Toby, pengacara keluarga Grayson yang notabene cukup memahami seluk beluk keluarga itu pun juga tak pernah mengetahui kisah di balik kehidupan pribadi Isabel, gadis yang dicintainya semenjak dua tahun lalu.
“Kau berdansa seperti dalam mimpi.” Ujar Toby kepada wanita yang tengah berada dalam genggamannya itu.
“Tidak, itu tidak benar,” jawab Isabel. “Aku tidak pernah suka berdansa, tapi...”
“Tapi...?” tukas Toby.
Isabel menghela napas, lalu melepaskan tangannya yang melingkar di leher Toby. “Tapi aku menikmati berdansa denganmu,” ungkapnya tenang. Mata keduanya bertemu sejenak.
“Miss Grayson,” kata Toby pura-pura terkejut. “Jangan katakan padaku kau bersenang-senang. Di sebuah pesta dansa?” Ketika Isabel menuangkan wine di gelasnya sendiri, Toby bergumam, “jangan khawatir, rahasiamu aman bersamaku. Tapi hanya jika kau mau berjanji padaku.”
“Janji apa?” tanya Isabel sembari meneguk segelas Chateau Manlot Capet, red wine terkenal dari Bordeaux, Prancis, kesukaannya. Nada suaranya datar.
“Berjanjilah padaku kau tidak akan menikah dengan Whittlesby. Jangan dia atau pria manapun yang mirip dengannya,” jawab Toby penuh keseriusan.
Isabel tersenyum sinis. Ia mengangkat sedikit sudut kanan bibirnya ke atas. “Aku tidak menjanjikan hal semacam itu padamu. Memangnya siapa kau, berani mengatakan padaku siapa yang boleh dan tidak boleh kunikahi?”
“Siapa aku?” Toby terbahak. “Aku adalah pria yang sudah kau beri tugas untuk mencarikan suami yang tepat untukmu. Whittlesby dan teman-temannya termasuk ke dalam kategori yang tidak tepat.” Toby memandang wajah Isabel dalam.
Kehidupan cinta Isabel Grayson memang tak seindah kedua orang tuanya. Juga tak secemerlang karirnya sebagai seorang pianis berbakat dan terkenal di seluruh penjuru Inggris. Ia menjadi janda di usianya yang ke-23 tahun, ketika suami pertamanya tiba-tiba menghilang tanpa kabar setelah beberapa bulan pernikahan. Hal itu kemudian juga berulang pada suami kedua, ketiga dan keempatnya. Itulah sebabnya pernikahan pewaris tunggal keluarga Grayson tersebut tidak pernah bertahan lama. Hingga kini, ia masih sendiri diusianya yang menginjak 28 tahun. Semua terkesan rumit sebelum tabir rahasia dibalik serentetan peristiwa yang telah terjadi dapat terungkap.
“Tapi kau tidak mengerti. Aku memiliki tujuan, prioritas.” Isabel berbalik menatap mata Toby, lagi-lagi dengan tatapan dingin dan terkesan memendam amarah. Ia dengan kasar meletakkan gelasnya yang berisi wine di meja, lalu beranjak meninggalkan Toby begitu saja dengan langkah cepat.
Sesaat setelah Isabel meninggalkan Toby, listrik tiba-tiba padam. Terjadi keributan kecil di ruang tengah. Beberapa piring dan gelas pecah akibat jatuh tersenggol. Para undangan menciptakan kebisingannya sendiri. Karena panik, mereka satu per satu akhirnya pergi ke luar ruangan dengan hati-hati dan memutuskan untuk meninggalkan kediaman Grayson. Sementara Tuan Gryson meminta salah seorang pelayannya untuk memeriksa sekering rumah, ia bersama beberapa tamunya yang masih tinggal menunggu di gazebo yang berada di halaman depan.
Di saat yang lain menuju keluar, Toby justru berusaha mencari keberadaan Isabel dengan berjalan berkeliling rumah, dari satu ruangan ke ruangan lain. Pria yang mengenakan kacamata minus itu akhirnya menemukan sebuah senter berukuran besar di dapur. Setelah berjalan mengelilingi lantai bawah, ia dapat melihat anak tangga yang menuju ke lantai atas. Bahkan sebuah tangga saja masih terlihat sangat megah di kegelapan. Dari sorot lampu senter yang digenggam erat Toby, kelihatan sekali detail ukiran di bagian pegangannya yang terbuat dari kayu mahoni yang bercahaya. Anak tangganya terbuat dari lantai marmer yang dilapisi karpet warna merah marun, sehingga membuat langkah lebih nyaman. Terdapat sederetan bingkai foto warna putih berisi gambar-gambar Isabela bersama pianonya yang terpasang di dinding yang berbalut cat warna coklat muda. Foto-foto tersebut seperti menceritakan perjalanan Isabel mulai saat ia belajar bermain piano klasik untuk pertama kalinya ketika masih di bangku sekolah dasar, hingga kini saat ia dewasa dan telah meraih gelar sebagai seorang pianis dengan talentanya yang luar biasa.
Ketika Toby tengah dengan seksama mengamati foto perjalanan Isabel bersama piano tercintanya, sayup-sayup terdengar suara piano yang dimainkan dari lantai atas. Fur elize - irama pertama yang Isabel kuasai saat duduk di sekolah dasar - tertulis dalam note yang dicantumkan di foto pertama. Hingga sesampainya di anak tangga terakhir, pria bertubuh proporsional yang mengenakan setelan jas berwarna abu-abu itu melewati sebuah lorong setapak yang kosong. Hanya ada sederet lampu dinding yang berjaga di sepanjang lorong. Dan setelah berjalan beberapa langkah, Toby menemukan sebuah pintu dari kayu yang bercat putih di ujung lorong. Suara denting piano yang misterius semakin terdengar jelas dari sana. Melodi yang dimainkan tetap sama.
Toby membuka pintu dengan sangat berhati-hati, namun ia tidak berhasil menemukan apapun. Dari penglihatannya, ruangan itu seperti sebuah ruang beca Isabel yang didesain layaknya perpustakaan mini. Terdapat ratusan buku yang ditata apik dalam beberapa rak kayu yang terletak di setiap sisi ruangan. Toby berusaha mengamati tiap sudut ruangan tersebut. Cahaya dari senter yang dibawa oleh Toby menemukan dinding yang dilapisi wallpaper berpola ranting dan burung-burung gereja berwarna abu-abu dipadukan dengan lantai yang tertutup permadani dengan warna senada. Tidak ada piano klasik seperti harapan Toby. Hanya ada tumpukan buku-buku musik tua dan sebuah meja bundar beserta kursi bergaya khas victorian yang berada di dekat perapian. Toby mendapatkan sedikit penerangan dari perapian yang masih menyala. Diamatinya buku-buku yang menatapnaya angkuh dari rak-rak itu. Tak ada satupun yang membuatnya tertarik, karena ia sama sekali tak mengerti musik.
Salah satu buku diambilnya dengan sikap acuh tak acuh – Collin Mc Phee (2004), Composer in Two World – Toby hanya membolak-balik halaman bukunya sejenak lalu meletakkannya kembali di rak. Dari banyaknya buku-buku tentang composer yang berjajar di rak, Isabel sepertinya juga sangat menyukai dan mahir mencipta musik selain hanya sekadar bermain piano. Dan tiba-tiba, saat ia berusaha menarik sebuah buku tua yang berjudul The Guinnes Guide to Classical Composser oleh Keith Shadwick (1988), rak buku tempat menyimpan buku tersebut membuka layaknya sebuah pintu.
Buku Keith Shadwick tersebut ternyata juga digunakan sebagai tuas untuk memutar rak buku bagian itu, yang kemudian mengantarkan Toby memasuki sebuah ruangan lain di dalam ruang baca. Dinding-dindingnya terkesan dingin dan lembab dengan warna abu-abu polos. Di sekeliling terlihat patung-patung manusia yang terbuat dari tanah liat. Empat patung laki-laki yang sepertinya dipahat dengan sempurna.
Sejak kapan Isabel menyukai seni pahat juga? Batin Toby yang beradu bersama suara denting piano yang terdengar sangat jelas dari ruangan ini. Dengan sorot dari lampu senter yang digenggamnya, samar-samar pria itu melihat siluet Isabel Grayson yang tengah memainkan sebuah piano Steinway hitam buatan Jerman. Piano tersebut merupakan salah satu piano klasik tua yang dibuat pertama kali pada tahun 1836 oleh Heinrich Steinweg, seorang pria berkebangsaan Jerman yang kemudian berganti nama menjadi Henry Engelhard Steinwey ketika karya Steinweg mulai mendapatkan sambutan bagus dari para pembelinya dan memulai usahanya kembali di Amerika Serikat.
Tiba-tiba lampu yang sedari tadi padam, menyala. Kini wujud Isabel Grayson terlihat sangat jelas dibalik piano klasiknya. Jari-jemarinya masih memainkan melodi fur elize dengan lincah, hingga ia tiba-tiba menghentikan permainannya ketika mendapati Toby yang tengah berdiri di hadapannya.
Dengan suara yang lembut dan tenang, Isabel berkata, “Aku berharap bisa menjadi wanita yang berpengaruh. Hanya itu satu-satunya cara aku bisa membawa efek terhadap masyarakat. Jika aku tidak menikah dengan pria yang sesuai dengan tujuanku, sebaiknya aku tetap tidak pernah menikah.”
Toby sedikit terkejut ketika wanita itu mulai bicara. Ia memandang sekeliling dan mendapati patung-patung yang tadi ia lihat dalam kegelapan. Terdapat foto laki-laki yang berbeda di samping patung-patung tersebut. Dan ternyata nama yang tertulis dalam foto itu adalah nama empat mantan suami Isabel Grayson beserta tanggal kematiannya. Toby yang mulai menyadari keadaan yang sebenarnya mulai berbicara dengan suara parau, “Jika kau tidak menikah dengan belahan jiwamu, kau akan menyesalinya seumur hidupmu. Dengarkan aku, Isabel,” tukas Toby. “Isabel, kau adalah wanita yang cerdas. Kau masih muda, penuh idealisme dan gairah yang meledak-ledak. Kau tidak kekurangan uang atau pun kasih sayang keluarga. Dan kau juga merupakan wanita paling cantik di ruangan ini. Senjata ampuh yang mampu membuat seluruh pria di London bertekuk lutut, jika kau menebarkan pesonamu pada mereka. Demi Tuhan, jangan belenggu dirimu sendiri dari puding yang bergelar. Kekuatan yang kau cari sudah ada dalam dirimu,” lanjut Toby.
“Kumohon, simpan saja pujian omong kosongmu.” Isabel berdiri dari bangku pianonya. Rahang Isabel menegang dan menatap penuh amarah kepada Toby. Tetapi sikapnya masih setenang air. Sambil menggumam melodi fur elise dengan suara mulutnya, Tiba-tiba ia mengambil sebilah pisau dari balik pianonya. Seperti harimau yang sedang lapar, ia menikam Toby dengan berkali-kali kibasan telak yang membuat Toby terkulai lemah di laintai dengan tubuh yang bersimbah darah hingga kacamatanya terhempas jauh dari tubunhya. Beberapa kali tusukan dilayangkan ke tubuh Toby tanpa ada perlawanan. Isabel terdengar berteriak-teriak seperti kesetanan. Napasnya tersengal-sengal tak teratur.
Salah siapa seorang wanita tidak diijinkan menjadi seorang konduktor. Cita-citaku bukan hanya menjadi seorang pianis ingusan. Aku mampu menciptakan musikku sendiri dan aku ingin menjadi konduktor dari musik yang aku ciptakan dengan sepenuh hati. Mata Isabel berpaling pada keempat patung di sampingnya. Mereka para konduktor laki-laki telah merusak mimpi yang aku bangun selama ini. Mereka merampasnya. Dan kau yang telah menghentikanku untuk menghabisi mereka juga harus habis. Aku tidak ingin seorang pun menghalangi ambisiku. Batin Isabel dengan napas yang masih terengah-engah. Senyuman kepuasan melingkar di bibirnya.
Judul Buku : A Lady of Persuasion
Pengarang : Tessa Dare
Halaman : 43-44
Tetap saja, mereka berhasil masuk ke aula dansa dengan mulus, pada waktu yang sesuai dengan alunan musik. Karena Toby adalah seorang pedansa yang ulung, dan Isabel menyerahkan diri sepenuhnya dalam bimbingannya.
“Kau berdansa seperti dalam mimpi.” Ujar Toby kepada Isabel. Mimpinya, malam ini. Mungkin selama seminggu kedepan.
Tidak, itu tidak benar,” jawab Isabel. “Aku tidak pernah suka berdansa, tapi...”
“Tapi...?”
Isabel menghela napas yang beraroma brandy dan penyerahan. “Tapi, kau menikmati berdansa denganmu.”
Wah, puji Tuhan atas kemenangan kecil ini.
“Miss Grayson,” kata Toby, berpura-pura terkejut, “jangan katakan padaku kau bersenang-senang. Di sebuah pesta dansa?” Ketika Isabel merona, Toby Bergumam. “Jangan khawatir. Rahasiamu aman bersamaku. Tapi, hanya jika kau mau berjanji padaku.”
“Jani apa? Tanya Isabel, menatap Toby dengan sorot waspada.
“Berjanjilah padaku kau tidak akan menikah dengan Whittlesby. Jangan dia, atau pria mana pun yang mirip dengannya.”
“Aku tidak menjanjikan hal semacam itu padamu. Memangnya siapa kau, berani mengatakan padaku siapa yang boleh dan tidak boleh kunikahi?”
“Siapa aku?” Toby tertawa. “Aku adalah pria yang sudah kau beri tugas untuk mencarikan suami yang tepat untukmu. Whittlesby dan teman-temannya termasuk ke kategori tidak tepat.”
“Tapi, kau tidak mengerti. Aku memiliki tujuan, prioritas.” Isabel menatap ke langit-langit aula dansa. “Aku berharap bisa menjadi wanita yang berpengaruh. Hanya itu satu-satunya cara aku bisa membawa efek terhadap masyarakat. Jika aku tidak menikah dengan pria yang sesuai dengan tujuanku, sebaiknya aku tetap tidak pernah menikah.”
“Jika kau tidak menikah dengan belahan jiwamu, kau akan menyesalinya seumur hidupmu. Dengarkan aku, Isabel.”
Isabel terkejut saat Toby menggunakan nama depan wanita itu. Bagus. Sekarang, Isabel memperhatikannya. Terlebih lagi, ia juga suka menyebut nama itu.
“Isabel, kau adalah wanita yang cerdas. Kau masih muda, penuh idealisme dan gairah yang meledak-ledak. Kau tidak kekurangan uang atau pun kasih sayang keluarga. Dan kau juga merupakan wanita paling cantik di ruangan ini. Senjata ampuh yang mampu membuat seluruh pria di London bertekuk lutut, jika kau menebarkan pesonamu pada mereka. Demi Tuhan, jangan belenggu dirimu sendiri dengan puding yang bergelar. Kekuatan yang kau cari sudah ada dalam dirimu.”
“Kumohon, simpan saja pujian omong kosongmu.”
Di bawah ini adalah cerita versiku menggunakan dialog di atas, namun dengan karakter tokoh dan latar belakang mereka yang aku ciptakan sendiri:
Sebuah rumah mewah khas victorian berdiri kokoh di daerah Hampstead yang terkenal sebagai salah satu kawasan elite di kota London. Tidak seperti rumah lainnya yang nampak lengang malam itu, maison bergaya klasik tersebut justru terlihat lebih gemerlap dari biasanya. Irama musik waltz terdengar jelas dari salah satu ruangan tempat para tamu undangan berkumpul. Sebagiaan besar undangan adalah kolega bisnis dari keluarga Grayson yang hadir dalam pesta dansa yang digelar untuk memperingati ulang tahun ke-30 pernikahan Henry Grayson dan istrinya. Dalam suasana hangat yang penuh perbincangan ringan, mereka berkumpul di ruang tengah yang didekorasi dengan sejumlah furniture dalam skala besar dan ornamen-ornamen interior dengan detail ukiran. Dipertegas dengan dinding yang ditutup wallpaper berpola dedaunan berwarna hijau tua dan lantai permadani berpola oriental dengan warna gold.
Sementara di sudut yang lain, suasana terkesan lebih dingin. Bukan karena angin yang tiba-tiba menyelinap masuk dalam celah-celah gaun merah Isabel, melainkan akibat atmosfer yang tercipta antara dia dan Toby. Isabel Grayson adalah putri tunggal dari pasangan Henry Grayson dan Clara Magnofa. Diusianya yang masih terbilang muda, tidak akan ada yang menyangka bahwa wanita bertubuh semampai dan berambut pirang sebahu itu adalah seorang wanita yang pernah menikah sebanyak empat kali dalam lima tahun. Tidak ada seorangpun yang benar-benar mengetahui kehidupan pribadi Isabel Grayson. Bahkan Toby, pengacara keluarga Grayson yang notabene cukup memahami seluk beluk keluarga itu pun juga tak pernah mengetahui kisah di balik kehidupan pribadi Isabel, gadis yang dicintainya semenjak dua tahun lalu.
“Kau berdansa seperti dalam mimpi.” Ujar Toby kepada wanita yang tengah berada dalam genggamannya itu.
“Tidak, itu tidak benar,” jawab Isabel. “Aku tidak pernah suka berdansa, tapi...”
“Tapi...?” tukas Toby.
Isabel menghela napas, lalu melepaskan tangannya yang melingkar di leher Toby. “Tapi aku menikmati berdansa denganmu,” ungkapnya tenang. Mata keduanya bertemu sejenak.
“Miss Grayson,” kata Toby pura-pura terkejut. “Jangan katakan padaku kau bersenang-senang. Di sebuah pesta dansa?” Ketika Isabel menuangkan wine di gelasnya sendiri, Toby bergumam, “jangan khawatir, rahasiamu aman bersamaku. Tapi hanya jika kau mau berjanji padaku.”
“Janji apa?” tanya Isabel sembari meneguk segelas Chateau Manlot Capet, red wine terkenal dari Bordeaux, Prancis, kesukaannya. Nada suaranya datar.
“Berjanjilah padaku kau tidak akan menikah dengan Whittlesby. Jangan dia atau pria manapun yang mirip dengannya,” jawab Toby penuh keseriusan.
Isabel tersenyum sinis. Ia mengangkat sedikit sudut kanan bibirnya ke atas. “Aku tidak menjanjikan hal semacam itu padamu. Memangnya siapa kau, berani mengatakan padaku siapa yang boleh dan tidak boleh kunikahi?”
“Siapa aku?” Toby terbahak. “Aku adalah pria yang sudah kau beri tugas untuk mencarikan suami yang tepat untukmu. Whittlesby dan teman-temannya termasuk ke dalam kategori yang tidak tepat.” Toby memandang wajah Isabel dalam.
Kehidupan cinta Isabel Grayson memang tak seindah kedua orang tuanya. Juga tak secemerlang karirnya sebagai seorang pianis berbakat dan terkenal di seluruh penjuru Inggris. Ia menjadi janda di usianya yang ke-23 tahun, ketika suami pertamanya tiba-tiba menghilang tanpa kabar setelah beberapa bulan pernikahan. Hal itu kemudian juga berulang pada suami kedua, ketiga dan keempatnya. Itulah sebabnya pernikahan pewaris tunggal keluarga Grayson tersebut tidak pernah bertahan lama. Hingga kini, ia masih sendiri diusianya yang menginjak 28 tahun. Semua terkesan rumit sebelum tabir rahasia dibalik serentetan peristiwa yang telah terjadi dapat terungkap.
“Tapi kau tidak mengerti. Aku memiliki tujuan, prioritas.” Isabel berbalik menatap mata Toby, lagi-lagi dengan tatapan dingin dan terkesan memendam amarah. Ia dengan kasar meletakkan gelasnya yang berisi wine di meja, lalu beranjak meninggalkan Toby begitu saja dengan langkah cepat.
Sesaat setelah Isabel meninggalkan Toby, listrik tiba-tiba padam. Terjadi keributan kecil di ruang tengah. Beberapa piring dan gelas pecah akibat jatuh tersenggol. Para undangan menciptakan kebisingannya sendiri. Karena panik, mereka satu per satu akhirnya pergi ke luar ruangan dengan hati-hati dan memutuskan untuk meninggalkan kediaman Grayson. Sementara Tuan Gryson meminta salah seorang pelayannya untuk memeriksa sekering rumah, ia bersama beberapa tamunya yang masih tinggal menunggu di gazebo yang berada di halaman depan.
Di saat yang lain menuju keluar, Toby justru berusaha mencari keberadaan Isabel dengan berjalan berkeliling rumah, dari satu ruangan ke ruangan lain. Pria yang mengenakan kacamata minus itu akhirnya menemukan sebuah senter berukuran besar di dapur. Setelah berjalan mengelilingi lantai bawah, ia dapat melihat anak tangga yang menuju ke lantai atas. Bahkan sebuah tangga saja masih terlihat sangat megah di kegelapan. Dari sorot lampu senter yang digenggam erat Toby, kelihatan sekali detail ukiran di bagian pegangannya yang terbuat dari kayu mahoni yang bercahaya. Anak tangganya terbuat dari lantai marmer yang dilapisi karpet warna merah marun, sehingga membuat langkah lebih nyaman. Terdapat sederetan bingkai foto warna putih berisi gambar-gambar Isabela bersama pianonya yang terpasang di dinding yang berbalut cat warna coklat muda. Foto-foto tersebut seperti menceritakan perjalanan Isabel mulai saat ia belajar bermain piano klasik untuk pertama kalinya ketika masih di bangku sekolah dasar, hingga kini saat ia dewasa dan telah meraih gelar sebagai seorang pianis dengan talentanya yang luar biasa.
Ketika Toby tengah dengan seksama mengamati foto perjalanan Isabel bersama piano tercintanya, sayup-sayup terdengar suara piano yang dimainkan dari lantai atas. Fur elize - irama pertama yang Isabel kuasai saat duduk di sekolah dasar - tertulis dalam note yang dicantumkan di foto pertama. Hingga sesampainya di anak tangga terakhir, pria bertubuh proporsional yang mengenakan setelan jas berwarna abu-abu itu melewati sebuah lorong setapak yang kosong. Hanya ada sederet lampu dinding yang berjaga di sepanjang lorong. Dan setelah berjalan beberapa langkah, Toby menemukan sebuah pintu dari kayu yang bercat putih di ujung lorong. Suara denting piano yang misterius semakin terdengar jelas dari sana. Melodi yang dimainkan tetap sama.
Toby membuka pintu dengan sangat berhati-hati, namun ia tidak berhasil menemukan apapun. Dari penglihatannya, ruangan itu seperti sebuah ruang beca Isabel yang didesain layaknya perpustakaan mini. Terdapat ratusan buku yang ditata apik dalam beberapa rak kayu yang terletak di setiap sisi ruangan. Toby berusaha mengamati tiap sudut ruangan tersebut. Cahaya dari senter yang dibawa oleh Toby menemukan dinding yang dilapisi wallpaper berpola ranting dan burung-burung gereja berwarna abu-abu dipadukan dengan lantai yang tertutup permadani dengan warna senada. Tidak ada piano klasik seperti harapan Toby. Hanya ada tumpukan buku-buku musik tua dan sebuah meja bundar beserta kursi bergaya khas victorian yang berada di dekat perapian. Toby mendapatkan sedikit penerangan dari perapian yang masih menyala. Diamatinya buku-buku yang menatapnaya angkuh dari rak-rak itu. Tak ada satupun yang membuatnya tertarik, karena ia sama sekali tak mengerti musik.
Salah satu buku diambilnya dengan sikap acuh tak acuh – Collin Mc Phee (2004), Composer in Two World – Toby hanya membolak-balik halaman bukunya sejenak lalu meletakkannya kembali di rak. Dari banyaknya buku-buku tentang composer yang berjajar di rak, Isabel sepertinya juga sangat menyukai dan mahir mencipta musik selain hanya sekadar bermain piano. Dan tiba-tiba, saat ia berusaha menarik sebuah buku tua yang berjudul The Guinnes Guide to Classical Composser oleh Keith Shadwick (1988), rak buku tempat menyimpan buku tersebut membuka layaknya sebuah pintu.
Buku Keith Shadwick tersebut ternyata juga digunakan sebagai tuas untuk memutar rak buku bagian itu, yang kemudian mengantarkan Toby memasuki sebuah ruangan lain di dalam ruang baca. Dinding-dindingnya terkesan dingin dan lembab dengan warna abu-abu polos. Di sekeliling terlihat patung-patung manusia yang terbuat dari tanah liat. Empat patung laki-laki yang sepertinya dipahat dengan sempurna.
Sejak kapan Isabel menyukai seni pahat juga? Batin Toby yang beradu bersama suara denting piano yang terdengar sangat jelas dari ruangan ini. Dengan sorot dari lampu senter yang digenggamnya, samar-samar pria itu melihat siluet Isabel Grayson yang tengah memainkan sebuah piano Steinway hitam buatan Jerman. Piano tersebut merupakan salah satu piano klasik tua yang dibuat pertama kali pada tahun 1836 oleh Heinrich Steinweg, seorang pria berkebangsaan Jerman yang kemudian berganti nama menjadi Henry Engelhard Steinwey ketika karya Steinweg mulai mendapatkan sambutan bagus dari para pembelinya dan memulai usahanya kembali di Amerika Serikat.
Tiba-tiba lampu yang sedari tadi padam, menyala. Kini wujud Isabel Grayson terlihat sangat jelas dibalik piano klasiknya. Jari-jemarinya masih memainkan melodi fur elize dengan lincah, hingga ia tiba-tiba menghentikan permainannya ketika mendapati Toby yang tengah berdiri di hadapannya.
Dengan suara yang lembut dan tenang, Isabel berkata, “Aku berharap bisa menjadi wanita yang berpengaruh. Hanya itu satu-satunya cara aku bisa membawa efek terhadap masyarakat. Jika aku tidak menikah dengan pria yang sesuai dengan tujuanku, sebaiknya aku tetap tidak pernah menikah.”
Toby sedikit terkejut ketika wanita itu mulai bicara. Ia memandang sekeliling dan mendapati patung-patung yang tadi ia lihat dalam kegelapan. Terdapat foto laki-laki yang berbeda di samping patung-patung tersebut. Dan ternyata nama yang tertulis dalam foto itu adalah nama empat mantan suami Isabel Grayson beserta tanggal kematiannya. Toby yang mulai menyadari keadaan yang sebenarnya mulai berbicara dengan suara parau, “Jika kau tidak menikah dengan belahan jiwamu, kau akan menyesalinya seumur hidupmu. Dengarkan aku, Isabel,” tukas Toby. “Isabel, kau adalah wanita yang cerdas. Kau masih muda, penuh idealisme dan gairah yang meledak-ledak. Kau tidak kekurangan uang atau pun kasih sayang keluarga. Dan kau juga merupakan wanita paling cantik di ruangan ini. Senjata ampuh yang mampu membuat seluruh pria di London bertekuk lutut, jika kau menebarkan pesonamu pada mereka. Demi Tuhan, jangan belenggu dirimu sendiri dari puding yang bergelar. Kekuatan yang kau cari sudah ada dalam dirimu,” lanjut Toby.
“Kumohon, simpan saja pujian omong kosongmu.” Isabel berdiri dari bangku pianonya. Rahang Isabel menegang dan menatap penuh amarah kepada Toby. Tetapi sikapnya masih setenang air. Sambil menggumam melodi fur elise dengan suara mulutnya, Tiba-tiba ia mengambil sebilah pisau dari balik pianonya. Seperti harimau yang sedang lapar, ia menikam Toby dengan berkali-kali kibasan telak yang membuat Toby terkulai lemah di laintai dengan tubuh yang bersimbah darah hingga kacamatanya terhempas jauh dari tubunhya. Beberapa kali tusukan dilayangkan ke tubuh Toby tanpa ada perlawanan. Isabel terdengar berteriak-teriak seperti kesetanan. Napasnya tersengal-sengal tak teratur.
Salah siapa seorang wanita tidak diijinkan menjadi seorang konduktor. Cita-citaku bukan hanya menjadi seorang pianis ingusan. Aku mampu menciptakan musikku sendiri dan aku ingin menjadi konduktor dari musik yang aku ciptakan dengan sepenuh hati. Mata Isabel berpaling pada keempat patung di sampingnya. Mereka para konduktor laki-laki telah merusak mimpi yang aku bangun selama ini. Mereka merampasnya. Dan kau yang telah menghentikanku untuk menghabisi mereka juga harus habis. Aku tidak ingin seorang pun menghalangi ambisiku. Batin Isabel dengan napas yang masih terengah-engah. Senyuman kepuasan melingkar di bibirnya.
Langganan:
Postingan (Atom)