Oleh: Dinar Prisca Putri
Keberlangsungan ASEAN Security Community sebagai salah satu pilar dari ASEAN Community yang diusung dalam Deklarasi Bali Concord II telah memunculkan banyak perdebatan di kalangan akademis dan para peneliti. Mereka diantaranya adalah Karl Deutch yang beraliran liberal dan Michael Liefer yang beraliran realis. Kedua tokoh tersebut pada dasarnya tidak setuju apabila ASEAN dijadikan sebagai suatu model komunitas keamanan. Sebab menurut mereka, ASEAN belum memenuhi syarat-syarat suatu komunitas bisa disebut sebagai komunitas kemanan.
Menurut pandangan Deutch, selain tidak adanya konflik bersenjata yang menyangkut perbatasan dan sejenisnya, suatu masyarakat keamanan dicirikan dengan tidak adanya rasa saling curiga terhadap negara-negara tetangga atas kemungkinan dilakukannya serangan. Dengan kata lain, terdapat jaminan bahwa tidak akan ada suatu negara yang dengan sengaja “menciderai” negara lain. Syarat suatu komunitas menurut Deutch sendiri, antara lain adalah adanya integrasi, interdependensi, supra level institution, dan communality.
Integrasi ditandai dengan adanya pembentukan suatu organisasi yang bersifat formal maupun informal yang dapat menjamin terciptanya suatu perdamaian yang berkelanjutan. Integrasi juga tidak selalu hanya bisa diartikan dengan hilangnya sebagian kedaulatan suatu negara, tapi dalam hal ini lebih kepada interdependensi yang kuat dalam berbagai hal antara negara satu dengan negara yang lain. Contoh sederhana adalah besar biaya atau tarif telepon lintas negara, antara Australia dan Indonesia yang sangat jauh berbeda. Hal itu tentu saja dapat menunjukkan kurang adanya integrasi antar kedua negara tersebut. Selain itu, faktor communality dalam hal persamaan ideologi, budaya, sosial, dan agama juga tidak tercermin dalam komunitas ASEAN. Kita sendiri mengetahui bahwa negara-negara anggota ASEAN terdiri dari beragam ideologi, budaya, dan agama yang berbeda. Oleh karena itu menurut Deutch, sangat sulit sekali untuk mempersatukan negara-negara kawasan Asia Tenggara di bawah payung suatu komunitas ASEAN. Berbeda dengan Uni Eropa yang megharuskan negara-negara yang hendak menjadi anggota UE untuk memiliki ideologi yang sama, yaitu Demokrasi. Dengan demikian akan mudah untuk membentuk suatu komunitas.
Sementara dalam pandangan realis yang diwakili oleh Michael Liefer, suatu komunitas haruslah memiliki persepsi ancaman yang sama (negara mana yang ditengarai menjadi ancaman bagi negara lain). Jika tidak, akan sangat sulit untuk membentuk suatu komunitas, khususnya sebuah komunitas keamanan yang menjadi impian negara-negara anggota ASEAN. Perbedaan persepsi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa hal yang bersifat signifikan, salah satunya seperti hubungan suatu negara dengan negara lain. Contoh, hubungan Singapura dan Israel yang sangat dekat, berbeda dengan Indonesia yang cenderung mengecam setiap tindakan dari Israel (khususnya menyangkut masalah Palestina).
Akhirnya, prospek pencapaian atau keberhasilan ASEAN dalam pembentukan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar, yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community), Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community), dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Econimic Community) akan dapat dilihat melalui terlaksana atau tidaknya Visi ASEAN 2020 (yang diajukan menjadi tahun 2015), mengingat banyak sekali kendala dan tantangan yang harus dihadapi ASEAN sendiri dalam mewujudkan suatu komunitas di dalam wadah ASEAN Community.
NB:
Berdasarkan kuliah MBP Asia Tenggara, 10 Mei 2011.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar