1.Homogenisasi
Culture menjadi sesuatu yang tunggal (homogen) sering diasosiasikan dengan kultur Barat (Amerika Americanization). Konsekuensi ekonomi global (bercermin pada ekonomi Amerika), maka culture ikut mengglobal.
Amerikanisasi dianggap sebagai sebuah ancaman, sehingga timbul gerakan yang menolak homogenisasi budaya dengan berbagai macam bentuk. Ex: Jihad, gerakan-gerakan fundamentalisme, nasionalisme (semua bersifat cultural resistance). Ada kultur tertentu yang merasa terjajah oleh yang lain (Ex: Indonesianisasi mungkin lebih bebahaya dari Amerikanisasi untuk orang Papua; atau Japanization lebih berbahaya dari Americanization bagi orang Korea).
2.Polarisasi
Menganggap adanya “the limit of cultural homogenization” polarization. Orientalisme (Edward) seolah-olah menganggap bahwa Western lebih penting, populer, dominan, rasional, dan lebih benar dari Eastern. Ada semacam dikotomi antara Barat dan Timur. Barat: dinamis, rasional, civilize, fungsional, scientific; Timur: tidak berubah sama sekali, irrasional, barbarian, disfungsional, supercicious. Tidak akan ada homogenisasi budaya, tapi akan terus terpolarisasi (tidak mungkin tunggal). Pada intinya menganggap civilization yang sangat bertabrakan antara dunia Barat (Mc World) dan Timur.
Kritik: “How to define culture?”
Contoh polarisasi: Western mulai menuju ketimuran (Easternized) melalui kontak-kontak antar budaya.
3.Hibridisasi
Hasil dari pencampuran berbagai macam budaya. Ex: Bahasa Indonesia, Bahasa Esperanto (kontra: dianggap sebagai proyek gagal dianggap bukan bahasa hibrid, dikonstruksi untuk dipakai dimana saja, namun gagal karena terlalu membingungkan). Interaksi kultural yang terus menerus akan membentuk hibridisasi (Ulf Hannerz, 1992). Sulit untuk mengatakan atau tidak ada jaminan bahwa budaya itu benar-benar murni, tanpa bercampur dengan budaya lain. Bisa berasal dari kolonialisasi, migrasi, cross-border employment, different cultural background intermarriage.
NB:
Revie Kuliah "Kosmopolitanisme, Nasionalisme, dan Fundamentalisme" (27 Mei 2011)
Sabtu, 28 Mei 2011
PROMISE
Oleh: Dinar Prisca Putri
Krizan dan Eza sudah terbiasa bersama bahkan semenjak mereka berada di Sekolah Dasar. Perbedaan latar belakang di antara keduanya pun tak menjadi penghalang bagi mereka untuk menjalin sebuah hubungan persahabatan. Dan kini mereka telah duduk di bangku SMA. Namun ikatan yang sudah lama terbangun di antara keduanya harus terputus ketika Krizan terpaksa meninggalkan Jakarta dan tinggal bersama Pamannya di Surabaya, sepeninggal kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan. Layaknya Eza, Krizan pun sangat menyukai hujan. Baginya, aroma hujan bagaikan surga. Itu sebabnya, gadis keturunan Cina itu berjanji akan kembali saat musim hujan tiba dan meminta Eza untuk selalu menunggunya di halte depan sekolah. Namun semenjak kepergiannya, Eza tak pernah bertemu Krizan lagi.
Enam tahun telah berlalu. Dan sesuai janjinya, Krizan kembali. Semuanya masih sama di matanya. Bahkan halte di depan sekolah juga tak berubah. Hanya saja, tak ada Eza yang sedia menunggunya di sana. Sampai di Panti Asuhan tempat Eza dibesarkan, seorang kepala asrama memberikan sebuah buku harian kepadanya. Lagi-lagi, Krizan tak menemukan Eza. Ibu asrama juga tak mengatakan apa-apa perihal laki-laki itu. Hanya buku harian milik Eza yang berada di tangannya kini. Laki-laki yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama itu menulis tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama semasa kecil. Termasuk hutan di belakang sekolah. Gadis yang namaya menyerupai bunga Cryzantium itu menuju ke hutan, dengan harapan bahwa Eza juga berada di sana dan menunggunya. Ia menerobos jalanan hutan yang gelap, hingga menemukan seberkas sinar matahari di ujung jalan. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati tempat itu berisikan penuh dengan bunga Cryzantium putih yang tumbuh dengan indahnya di sana. Krizan melanjutkan perjalanan dan menemukan Eza. Ya, dia benar-benar menemukannya. Namun yang dilihatnya hanya sebuah batu nisan bertuliskan “Eza Mahardika” yang berdiri dengan kokonhnya di atas gundukan tanah merah yang masih basah.
Dear, Krizanku...
Maafkan aku. Mungkin aku tak bisa menepati janjiku untuk menunggumu di setiap musim hujan tiba, di halte bus depan sekolah. Karena saat kau membaca halaman terakhir dari buku harian ini, mungkin kau sudah menemukan aku (jika kau beruntung). Tapi pada saat itu, kita tak bisa lagi bertatap muka atau bahkan sekedar berbincang-bincang ringan seperti dulu.
Sebelumnya Kuputuskan untuk menanam banyak sekali bunga Cryzantium putih untuk membunuh rasa rinduku padamu. Aku menyayangimu Krizan. Bahkan mungkin aku mulai mencintaimu sekarang. Dan perasaan itulah yang terus memberi aku kekuatan. Penyakit kanker yang bersarang di otakku, mengharuskan aku untuk melakukan operasi. Namun aku tak pernah melakukannya. Karena jika operasi itu berjalan lancar, aku akan kehilangan memori apapun di otakku, termasuk tentangmu, tentang kita. Dan aku tak mau. Aku ingin mengingat namamu sampai saat aku pergi nanti.
Selamat tinggal Krizan, kepalaku sudah bertambah sakit sekarang. Dan pertahananku nampaknya mulai terkikis secara perlahan. Permintaanku sangat sederhana. Ingatlah aku di saat kesenangan dan kesusahanmu,karena dengan begitu aku akan tetap hidup.
Eza Mahardika
Mei 2011
Air mata Krizan jatuh bersama rintihan hujan yang terus turun. Dan sekilas yang cepat, ia mlihat Eza berdiri di sampingnya.
Krizan dan Eza sudah terbiasa bersama bahkan semenjak mereka berada di Sekolah Dasar. Perbedaan latar belakang di antara keduanya pun tak menjadi penghalang bagi mereka untuk menjalin sebuah hubungan persahabatan. Dan kini mereka telah duduk di bangku SMA. Namun ikatan yang sudah lama terbangun di antara keduanya harus terputus ketika Krizan terpaksa meninggalkan Jakarta dan tinggal bersama Pamannya di Surabaya, sepeninggal kedua orang tuanya dalam sebuah kecelakaan. Layaknya Eza, Krizan pun sangat menyukai hujan. Baginya, aroma hujan bagaikan surga. Itu sebabnya, gadis keturunan Cina itu berjanji akan kembali saat musim hujan tiba dan meminta Eza untuk selalu menunggunya di halte depan sekolah. Namun semenjak kepergiannya, Eza tak pernah bertemu Krizan lagi.
Enam tahun telah berlalu. Dan sesuai janjinya, Krizan kembali. Semuanya masih sama di matanya. Bahkan halte di depan sekolah juga tak berubah. Hanya saja, tak ada Eza yang sedia menunggunya di sana. Sampai di Panti Asuhan tempat Eza dibesarkan, seorang kepala asrama memberikan sebuah buku harian kepadanya. Lagi-lagi, Krizan tak menemukan Eza. Ibu asrama juga tak mengatakan apa-apa perihal laki-laki itu. Hanya buku harian milik Eza yang berada di tangannya kini. Laki-laki yang sudah menjadi sahabatnya sejak lama itu menulis tempat-tempat yang pernah mereka kunjungi bersama semasa kecil. Termasuk hutan di belakang sekolah. Gadis yang namaya menyerupai bunga Cryzantium itu menuju ke hutan, dengan harapan bahwa Eza juga berada di sana dan menunggunya. Ia menerobos jalanan hutan yang gelap, hingga menemukan seberkas sinar matahari di ujung jalan. Betapa terkejutnya dia ketika mendapati tempat itu berisikan penuh dengan bunga Cryzantium putih yang tumbuh dengan indahnya di sana. Krizan melanjutkan perjalanan dan menemukan Eza. Ya, dia benar-benar menemukannya. Namun yang dilihatnya hanya sebuah batu nisan bertuliskan “Eza Mahardika” yang berdiri dengan kokonhnya di atas gundukan tanah merah yang masih basah.
Dear, Krizanku...
Maafkan aku. Mungkin aku tak bisa menepati janjiku untuk menunggumu di setiap musim hujan tiba, di halte bus depan sekolah. Karena saat kau membaca halaman terakhir dari buku harian ini, mungkin kau sudah menemukan aku (jika kau beruntung). Tapi pada saat itu, kita tak bisa lagi bertatap muka atau bahkan sekedar berbincang-bincang ringan seperti dulu.
Sebelumnya Kuputuskan untuk menanam banyak sekali bunga Cryzantium putih untuk membunuh rasa rinduku padamu. Aku menyayangimu Krizan. Bahkan mungkin aku mulai mencintaimu sekarang. Dan perasaan itulah yang terus memberi aku kekuatan. Penyakit kanker yang bersarang di otakku, mengharuskan aku untuk melakukan operasi. Namun aku tak pernah melakukannya. Karena jika operasi itu berjalan lancar, aku akan kehilangan memori apapun di otakku, termasuk tentangmu, tentang kita. Dan aku tak mau. Aku ingin mengingat namamu sampai saat aku pergi nanti.
Selamat tinggal Krizan, kepalaku sudah bertambah sakit sekarang. Dan pertahananku nampaknya mulai terkikis secara perlahan. Permintaanku sangat sederhana. Ingatlah aku di saat kesenangan dan kesusahanmu,karena dengan begitu aku akan tetap hidup.
Eza Mahardika
Mei 2011
Air mata Krizan jatuh bersama rintihan hujan yang terus turun. Dan sekilas yang cepat, ia mlihat Eza berdiri di sampingnya.
Rabu, 11 Mei 2011
For Mahasti
My little sister (Mahasti Ramadita Putri almh.).....
I miss you so much (again).
Hope you be in the best place on God's side.
:')
I believe you no longer feel pain near The God.
I miss you so much (again).
Hope you be in the best place on God's side.
:')
I believe you no longer feel pain near The God.
Selasa, 10 Mei 2011
PENCAPAIAN ASEAN DALAM PEMBENTUKAN KOMUNITAS KEAMANAN ASEAN
Oleh: Dinar Prisca Putri
Keberlangsungan ASEAN Security Community sebagai salah satu pilar dari ASEAN Community yang diusung dalam Deklarasi Bali Concord II telah memunculkan banyak perdebatan di kalangan akademis dan para peneliti. Mereka diantaranya adalah Karl Deutch yang beraliran liberal dan Michael Liefer yang beraliran realis. Kedua tokoh tersebut pada dasarnya tidak setuju apabila ASEAN dijadikan sebagai suatu model komunitas keamanan. Sebab menurut mereka, ASEAN belum memenuhi syarat-syarat suatu komunitas bisa disebut sebagai komunitas kemanan.
Menurut pandangan Deutch, selain tidak adanya konflik bersenjata yang menyangkut perbatasan dan sejenisnya, suatu masyarakat keamanan dicirikan dengan tidak adanya rasa saling curiga terhadap negara-negara tetangga atas kemungkinan dilakukannya serangan. Dengan kata lain, terdapat jaminan bahwa tidak akan ada suatu negara yang dengan sengaja “menciderai” negara lain. Syarat suatu komunitas menurut Deutch sendiri, antara lain adalah adanya integrasi, interdependensi, supra level institution, dan communality.
Integrasi ditandai dengan adanya pembentukan suatu organisasi yang bersifat formal maupun informal yang dapat menjamin terciptanya suatu perdamaian yang berkelanjutan. Integrasi juga tidak selalu hanya bisa diartikan dengan hilangnya sebagian kedaulatan suatu negara, tapi dalam hal ini lebih kepada interdependensi yang kuat dalam berbagai hal antara negara satu dengan negara yang lain. Contoh sederhana adalah besar biaya atau tarif telepon lintas negara, antara Australia dan Indonesia yang sangat jauh berbeda. Hal itu tentu saja dapat menunjukkan kurang adanya integrasi antar kedua negara tersebut. Selain itu, faktor communality dalam hal persamaan ideologi, budaya, sosial, dan agama juga tidak tercermin dalam komunitas ASEAN. Kita sendiri mengetahui bahwa negara-negara anggota ASEAN terdiri dari beragam ideologi, budaya, dan agama yang berbeda. Oleh karena itu menurut Deutch, sangat sulit sekali untuk mempersatukan negara-negara kawasan Asia Tenggara di bawah payung suatu komunitas ASEAN. Berbeda dengan Uni Eropa yang megharuskan negara-negara yang hendak menjadi anggota UE untuk memiliki ideologi yang sama, yaitu Demokrasi. Dengan demikian akan mudah untuk membentuk suatu komunitas.
Sementara dalam pandangan realis yang diwakili oleh Michael Liefer, suatu komunitas haruslah memiliki persepsi ancaman yang sama (negara mana yang ditengarai menjadi ancaman bagi negara lain). Jika tidak, akan sangat sulit untuk membentuk suatu komunitas, khususnya sebuah komunitas keamanan yang menjadi impian negara-negara anggota ASEAN. Perbedaan persepsi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa hal yang bersifat signifikan, salah satunya seperti hubungan suatu negara dengan negara lain. Contoh, hubungan Singapura dan Israel yang sangat dekat, berbeda dengan Indonesia yang cenderung mengecam setiap tindakan dari Israel (khususnya menyangkut masalah Palestina).
Akhirnya, prospek pencapaian atau keberhasilan ASEAN dalam pembentukan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar, yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community), Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community), dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Econimic Community) akan dapat dilihat melalui terlaksana atau tidaknya Visi ASEAN 2020 (yang diajukan menjadi tahun 2015), mengingat banyak sekali kendala dan tantangan yang harus dihadapi ASEAN sendiri dalam mewujudkan suatu komunitas di dalam wadah ASEAN Community.
NB:
Berdasarkan kuliah MBP Asia Tenggara, 10 Mei 2011.
Keberlangsungan ASEAN Security Community sebagai salah satu pilar dari ASEAN Community yang diusung dalam Deklarasi Bali Concord II telah memunculkan banyak perdebatan di kalangan akademis dan para peneliti. Mereka diantaranya adalah Karl Deutch yang beraliran liberal dan Michael Liefer yang beraliran realis. Kedua tokoh tersebut pada dasarnya tidak setuju apabila ASEAN dijadikan sebagai suatu model komunitas keamanan. Sebab menurut mereka, ASEAN belum memenuhi syarat-syarat suatu komunitas bisa disebut sebagai komunitas kemanan.
Menurut pandangan Deutch, selain tidak adanya konflik bersenjata yang menyangkut perbatasan dan sejenisnya, suatu masyarakat keamanan dicirikan dengan tidak adanya rasa saling curiga terhadap negara-negara tetangga atas kemungkinan dilakukannya serangan. Dengan kata lain, terdapat jaminan bahwa tidak akan ada suatu negara yang dengan sengaja “menciderai” negara lain. Syarat suatu komunitas menurut Deutch sendiri, antara lain adalah adanya integrasi, interdependensi, supra level institution, dan communality.
Integrasi ditandai dengan adanya pembentukan suatu organisasi yang bersifat formal maupun informal yang dapat menjamin terciptanya suatu perdamaian yang berkelanjutan. Integrasi juga tidak selalu hanya bisa diartikan dengan hilangnya sebagian kedaulatan suatu negara, tapi dalam hal ini lebih kepada interdependensi yang kuat dalam berbagai hal antara negara satu dengan negara yang lain. Contoh sederhana adalah besar biaya atau tarif telepon lintas negara, antara Australia dan Indonesia yang sangat jauh berbeda. Hal itu tentu saja dapat menunjukkan kurang adanya integrasi antar kedua negara tersebut. Selain itu, faktor communality dalam hal persamaan ideologi, budaya, sosial, dan agama juga tidak tercermin dalam komunitas ASEAN. Kita sendiri mengetahui bahwa negara-negara anggota ASEAN terdiri dari beragam ideologi, budaya, dan agama yang berbeda. Oleh karena itu menurut Deutch, sangat sulit sekali untuk mempersatukan negara-negara kawasan Asia Tenggara di bawah payung suatu komunitas ASEAN. Berbeda dengan Uni Eropa yang megharuskan negara-negara yang hendak menjadi anggota UE untuk memiliki ideologi yang sama, yaitu Demokrasi. Dengan demikian akan mudah untuk membentuk suatu komunitas.
Sementara dalam pandangan realis yang diwakili oleh Michael Liefer, suatu komunitas haruslah memiliki persepsi ancaman yang sama (negara mana yang ditengarai menjadi ancaman bagi negara lain). Jika tidak, akan sangat sulit untuk membentuk suatu komunitas, khususnya sebuah komunitas keamanan yang menjadi impian negara-negara anggota ASEAN. Perbedaan persepsi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa hal yang bersifat signifikan, salah satunya seperti hubungan suatu negara dengan negara lain. Contoh, hubungan Singapura dan Israel yang sangat dekat, berbeda dengan Indonesia yang cenderung mengecam setiap tindakan dari Israel (khususnya menyangkut masalah Palestina).
Akhirnya, prospek pencapaian atau keberhasilan ASEAN dalam pembentukan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar, yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community), Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community), dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Econimic Community) akan dapat dilihat melalui terlaksana atau tidaknya Visi ASEAN 2020 (yang diajukan menjadi tahun 2015), mengingat banyak sekali kendala dan tantangan yang harus dihadapi ASEAN sendiri dalam mewujudkan suatu komunitas di dalam wadah ASEAN Community.
NB:
Berdasarkan kuliah MBP Asia Tenggara, 10 Mei 2011.
PENCAPAIAN ASEAN DALAM PEMBENTUKAN KOMUNITAS KEAMANAN ASEAN
Oleh: Dinar Prisca Putri
Keberlangsungan ASEAN Security Community sebagai salah satu pilar dari ASEAN Community yang diusung dalam Deklarasi Bali Concord II telah memunculkan banyak perdebatan di kalangan akademis dan para peneliti. Mereka diantaranya adalah Karl Deutch yang beraliran liberal dan Michael Liefer yang beraliran realis. Kedua tokoh tersebut pada dasarnya tidak setuju apabila ASEAN dijadikan sebagai suatu model komunitas keamanan. Sebab menurut mereka, ASEAN belum memenuhi syarat-syarat suatu komunitas bisa disebut sebagai komunitas kemanan.
Menurut pandangan Deutch, selain tidak adanya konflik bersenjata yang menyangkut perbatasan dan sejenisnya, suatu masyarakat keamanan dicirikan dengan tidak adanya rasa saling curiga terhadap negara-negara tetangga atas kemungkinan dilakukannya serangan. Dengan kata lain, terdapat jaminan bahwa tidak akan ada suatu negara yang dengan sengaja “menciderai” negara lain. Syarat suatu komunitas menurut Deutch sendiri, antara lain adalah adanya integrasi, interdependensi, supra level institution, dan communality.
Integrasi ditandai dengan adanya pembentukan suatu organisasi yang bersifat formal maupun informal yang dapat menjamin terciptanya suatu perdamaian yang berkelanjutan. Integrasi juga tidak selalu hanya bisa diartikan dengan hilangnya sebagian kedaulatan suatu negara, tapi dalam hal ini lebih kepada interdependensi yang kuat dalam berbagai hal antara negara satu dengan negara yang lain. Contoh sederhana adalah besar biaya atau tarif telepon lintas negara, antara Australia dan Indonesia yang sangat jauh berbeda. Hal itu tentu saja dapat menunjukkan kurang adanya integrasi antar kedua negara tersebut. Selain itu, faktor communality dalam hal persamaan ideologi, budaya, sosial, dan agama juga tidak tercermin dalam komunitas ASEAN. Kita sendiri mengetahui bahwa negara-negara anggota ASEAN terdiri dari beragam ideologi, budaya, dan agama yang berbeda. Oleh karena itu menurut Deutch, sangat sulit sekali untuk mempersatukan negara-negara kawasan Asia Tenggara di bawah payung suatu komunitas ASEAN. Berbeda dengan Uni Eropa yang megharuskan negara-negara yang hendak menjadi anggota UE untuk memiliki ideologi yang sama, yaitu Demokrasi. Dengan demikian akan mudah untuk membentuk suatu komunitas.
Sementara dalam pandangan realis yang diwakili oleh Michael Liefer, suatu komunitas haruslah memiliki persepsi ancaman yang sama (negara mana yang ditengarai menjadi ancaman bagi negara lain). Jika tidak, akan sangat sulit untuk membentuk suatu komunitas, khususnya sebuah komunitas keamanan yang menjadi impian negara-negara anggota ASEAN. Perbedaan persepsi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa hal yang bersifat signifikan, salah satunya seperti hubungan suatu negara dengan negara lain. Contoh, hubungan Singapura dan Israel yang sangat dekat, berbeda dengan Indonesia yang cenderung mengecam setiap tindakan dari Israel (khususnya menyangkut masalah Palestina).
Akhirnya, prospek pencapaian atau keberhasilan ASEAN dalam pembentukan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar, yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community), Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community), dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Econimic Community) akan dapat dilihat melalui terlaksana atau tidaknya Visi ASEAN 2020 (yang diajukan menjadi tahun 2015), mengingat banyak sekali kendala dan tantangan yang harus dihadapi ASEAN sendiri dalam mewujudkan suatu komunitas di dalam wadah ASEAN Community.
NB:
Berdasarkan kuliah MBP Asia Tenggara, 10 Mei 2011.
Keberlangsungan ASEAN Security Community sebagai salah satu pilar dari ASEAN Community yang diusung dalam Deklarasi Bali Concord II telah memunculkan banyak perdebatan di kalangan akademis dan para peneliti. Mereka diantaranya adalah Karl Deutch yang beraliran liberal dan Michael Liefer yang beraliran realis. Kedua tokoh tersebut pada dasarnya tidak setuju apabila ASEAN dijadikan sebagai suatu model komunitas keamanan. Sebab menurut mereka, ASEAN belum memenuhi syarat-syarat suatu komunitas bisa disebut sebagai komunitas kemanan.
Menurut pandangan Deutch, selain tidak adanya konflik bersenjata yang menyangkut perbatasan dan sejenisnya, suatu masyarakat keamanan dicirikan dengan tidak adanya rasa saling curiga terhadap negara-negara tetangga atas kemungkinan dilakukannya serangan. Dengan kata lain, terdapat jaminan bahwa tidak akan ada suatu negara yang dengan sengaja “menciderai” negara lain. Syarat suatu komunitas menurut Deutch sendiri, antara lain adalah adanya integrasi, interdependensi, supra level institution, dan communality.
Integrasi ditandai dengan adanya pembentukan suatu organisasi yang bersifat formal maupun informal yang dapat menjamin terciptanya suatu perdamaian yang berkelanjutan. Integrasi juga tidak selalu hanya bisa diartikan dengan hilangnya sebagian kedaulatan suatu negara, tapi dalam hal ini lebih kepada interdependensi yang kuat dalam berbagai hal antara negara satu dengan negara yang lain. Contoh sederhana adalah besar biaya atau tarif telepon lintas negara, antara Australia dan Indonesia yang sangat jauh berbeda. Hal itu tentu saja dapat menunjukkan kurang adanya integrasi antar kedua negara tersebut. Selain itu, faktor communality dalam hal persamaan ideologi, budaya, sosial, dan agama juga tidak tercermin dalam komunitas ASEAN. Kita sendiri mengetahui bahwa negara-negara anggota ASEAN terdiri dari beragam ideologi, budaya, dan agama yang berbeda. Oleh karena itu menurut Deutch, sangat sulit sekali untuk mempersatukan negara-negara kawasan Asia Tenggara di bawah payung suatu komunitas ASEAN. Berbeda dengan Uni Eropa yang megharuskan negara-negara yang hendak menjadi anggota UE untuk memiliki ideologi yang sama, yaitu Demokrasi. Dengan demikian akan mudah untuk membentuk suatu komunitas.
Sementara dalam pandangan realis yang diwakili oleh Michael Liefer, suatu komunitas haruslah memiliki persepsi ancaman yang sama (negara mana yang ditengarai menjadi ancaman bagi negara lain). Jika tidak, akan sangat sulit untuk membentuk suatu komunitas, khususnya sebuah komunitas keamanan yang menjadi impian negara-negara anggota ASEAN. Perbedaan persepsi tersebut disebabkan oleh adanya beberapa hal yang bersifat signifikan, salah satunya seperti hubungan suatu negara dengan negara lain. Contoh, hubungan Singapura dan Israel yang sangat dekat, berbeda dengan Indonesia yang cenderung mengecam setiap tindakan dari Israel (khususnya menyangkut masalah Palestina).
Akhirnya, prospek pencapaian atau keberhasilan ASEAN dalam pembentukan ASEAN Community yang terdiri dari tiga pilar, yaitu Masyarakat Keamanan ASEAN (ASEAN Security Community), Masyarakat Sosial Budaya ASEAN (ASEAN Socio-Cultural Community), dan Masyarakat Ekonomi ASEAN (ASEAN Econimic Community) akan dapat dilihat melalui terlaksana atau tidaknya Visi ASEAN 2020 (yang diajukan menjadi tahun 2015), mengingat banyak sekali kendala dan tantangan yang harus dihadapi ASEAN sendiri dalam mewujudkan suatu komunitas di dalam wadah ASEAN Community.
NB:
Berdasarkan kuliah MBP Asia Tenggara, 10 Mei 2011.
Langganan:
Postingan (Atom)