Selama ini mudik rasanya sering dikaitkan dengan suatu agenda rutin dari serangkaian kegiatan selama peringatan hari besar keagamaan, misalnya lebaran. Bagi bangsa Indonesia momentum lebaran telah membentuk tradisi pulang ke kampung halaman atau mudik. Pada saat itulah ada kesempatan untuk berkumpul bersama sanak saudara, selain tentunya juga orang tua.
Istilah mudik itu sendiri sering dialamatkan kepada orang kota yang pulang ke kampung halamannya. Mudik seolah menjadi sebuah ritual yang sudah mentradisi di masyarakat kita. Mudik sendiri bukan hanya menjadi milik kaum muslimin di Indonesia. Pada saat lebaran misalnya, banyak kaum non-muslim di Indonesia juga memanfaatkan momen mudik lebaran ini sebagai ajang untuk pulang ke kampung halamannya. Mungkin hal ini salah satunya disebabkan karena memang di saat momen mudik inilah terdapat waktu libur yang cukup panjang, sehingga memungkinkan untuk melakukan perjalanan jauh.
PS. Berdasarkan keterangan dari beberapa sumber berita.
Kamis, 02 September 2010
Rabu, 01 September 2010
SAJAK SEDERHANA (LAGI-LAGI) UNTUK DIA
Dalam hariku, ingin kulantunkan namamu lewat untaian nada-nada.
Dan ingin kulukis senyummu lewat goresan-goresan tinta.
Itu saja. Jika tak akan bisa kusentuh hatimu dengan sebuah kata cinta.
Sedikit saja, izinkan aku mengenangmu di setiap helaan nafasku.
Izinkan aku menyimpan rindu itu tanpa rasa ragu.
Untuk hari ini, esok, dan selamanya.
Biar aku tunduk pada kepasrahan untuk cinta yang tak sempurna.
Surabaya, 22 Mei 2010
Aku duduk sendiri di sisi jendela. Mencium aroma lavender yang menyergap tiba-tiba dari arah kamar mama.
Dan ketika kusingkap gorden hijau tua yang melingkar di jendela, aku bisa menghirup aroma lain yang berbeda. Aroma matahari yang hadir bersama semburat cahaya yang mampu menyilaukan seantero kota sebelah timur Pulau Jawa.
Sungguh pagi yang begitu indah dan istimewa.
Aku bisa melihat dahan-dahan menari bersama embun yang jatuh lamat-lamat di permukaan. Ditemani angin yang terus bersiul bersama burung-burung gereja yang bertengger riang di genting-genting rumah bata.
Menciptakan harmoni yang mampu menawan segala bentuk kegelisahan yang berkecamuk dalam dada.
Ingin sekali membenamkan memoriku pada kesempurnaan yang tercipta pagi ini. Dan bercerita tentang apa saja. Tentunya bersamamu.
Bojonegoro, 31 Agustus 2010/05.53 WIB
Sabtu, 17 April 2010
MENGIDENTIFIKASI KONSEP POWER, BALANCE OF POWER DAN HEGEMONIC STABILITY
Oleh: Dinar Prisca Putri
Power merupakan sebuah konsep yang seringkali digunakan dalam ranah politik dan juga dalam lingkup hubungan internasional. Namun, sampai sekarang definisi mengenai konsep power itu sendiri masih menjadi sebuah perdebatan. Salah satu masalah yang diperdebatkan adalah apakah power dipandang sebagai sebuah atribut perseorangan, kelompok, atau negara bangsa, atau apakah power dianggap sebagai hubungan antara dua aktor politik yang memeiliki keinginan berbeda?
Secara harfiah, power berarti kekuatan atau kekuasaan. Menurut Nicholas J. Spykman, power didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan manusia agar mengikuti kebiasaan yang diinginkan pemilik power melalui cara persuasi dan paksaan. Dari pengertian ini, power dapat dilakukan dengan menggunakan cara kekerasan seperti paksaan dan dengan cara coorperative seperti persuasi. Sedangkan Hans J. Morgenthau, salah satu tokoh pemikir realis, lebih suka mendefinisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik, dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan pemikiran serta tindakan aktor B.
Power terdiri dari segala sesuatu yang dimiliki manusia untuk menentukan dan memelihara kontrol atau kekuasaan atas orang lain dan dia (power) meliputi seluruh hubungan sosial, mulai dari kekerasan psikologis yang tidak kentara melaului mana seseorang bisa mengontrol orang lain. (Morgenthau, 1973: 9)
Sebagai unit multidimensional, power memiliki lima dimensi utama, dimana Deutsch mengemukakan tiga dimensi power (scope, domain, range) yang spesifik dan bisa diukur. Jadi, kelima dimensi power tersebut, meliputi scope (ruang lingkup), domain, range, costs dan means.
Pertama, melalui dimensi scope (ruang lingkup), Deustch ingin menunjukkan suatu kumpulan atau koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu, hubungan dan pergaulan yang secara efektif tunduk kepada power pemerintah. (Ibid: 34) Kumpulan tersebut meliputi semua jenis aktivitas pemerintah dalam lingkup internal dan eksternal.
Dimensi kedua, yaitu domain membahas tentang kepada apa dan siapa power tersebut dilaksanakan. Power tentunya biasa dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial, dan kekayaan. Deutsch membagi domain menjadi dua bagian, yaitu internal domain (wilayah dan populasi dalam batas-batas suatu negara) dan eksternal domain (wilayah dan populasi di luar batas suatu negara tetapi masih termasuk ke dalam “wilayah pengaruh”).
Kemuadian, range didefinisikan sebagai sebuah perbedaan antara imbalan yang tertinggi (keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa dilimpahkan atau dibebankan oleh si pemegang power kepada beberapa orang di dalam domainnya. (Deutch: 32) Range power sendiri juga dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu komponen internal (menggunakan statistik anggaran belanja pemerintah dan menentukan berapa banyak pengeluaran pemerintah untuk keamanan umum dan kesejahteraan sosial) dan komponen eksternal (secara logis mengikuti bahasan range internal power).
Sedangkan yang dimaksud dengan costs adalah biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama relevan terhadap penilaian pengaruh. (Baldwin,1989) Artinya, besar kecilnya biaya yang dianjurkan oleh salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang dijalankan.
Dimensi kelima adalah means. Oleh Baldwin (1985), ada beberapa kategori yang mampu mengklasifikasi jalur suatu pengaruh dalam hubungan internasional, yakni: jalur simbolik, jalur ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis.
Karena power yang dimiliki oleh tiap-tiap negara itu berbeda-beda, maka perlu adanya suatu keseimbangan antara power yang dimiliki masing-masing negara, yang disebut sebagai balance of power. Perimbangan kekuatan (balance of power) bukanlah konsep yang mudah diukur. Ernst Hans mengasumsikan empat prasyarat bagi eksistensi sistem balance of power, yaitu (1) multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat, yang muncul karena tidak adanya satu otoritas yang menguasai aktor-aktor tersebut; (2) distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem tersebut (3) persaingan dan konflik yang berkesinambungan di antara aktor-aktor politik yang berdaulat; (4) pemahaman implisit di antara para pemimpin negara yang besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan akan menguntungkan mereka.
Balance of power dalam sistem kekuasaan ini muncul untuk menghasilkan tiga kondisi. Pertama, keberagaman kedaulatan negara yang mucul haruslah tidak tunduk pada keterpaksaan dari salah satu legitimasi kedaulatan negara lain yang lebih berkuasa. Kedua, kontrol secara terus-menerus dari kompetisi akibat langkanya sumber daya atau nilai-nilai konflik. Ketiga, menyamaratakan distribusi status, kekayaan, dan potensi power diantara aktor politik yang masuk dalam suatu sistem.
Secara sistemik, balance of power digunakan untuk mencegah terjadinya sistem hegemoni yang didefinisikan sebagai sebuah dominasi suatu negara terhadap negara atau kelompok negara lain. Dengan kata lain, balance of power ini muncul karena adanya suatu pengaruh besar dalam bidang militer dan teknologi oleh negara pemilik power yang besar, yang kemudian disebut sebagai hegemoni. Walaupun pada kenyataannya, hegemoni suatu negara itu tidak dapat dihilangkan dengan menggunakan sistem perimbangan kekuatan (balance of power).
Konsep hegemoni dalam hubungan internasional dapat diartikan sebagai sebuah negara yang memimpin suatu kelompok negara. Sedangkan hegemonic stability menjelaskan tentang keberadaan rezim yang memiliki daya tarik nyata dan menjelaskan bahwa sistem ekonomi internasional sebagai bentuk power daripada sebuah rational exchange. Adapun latar belakang dari teori hegemoni stabilitas ini karena adanya sistem anarki internasional yang sangat diagungkan oleh kaum neorealis. Anarki yang dimaksud ialah kompleksitas sistem kedaulatan negara yang memicu munculnya dilema keamanan (security dilemma). Asumsi dasar terbentuknya teori ini adalah adanya stabilitas sistem internasional yang membutuhkan dominasi tunggal sebuah negara dengan tujuan memperkuat aturan interaksi antar anggota yang paling penting dalam sistem internasional.
Menurut saya, dapat disimpulkan bahwa definisi dari konsep power yang beranekaragam dan masih menjadi perdebatan oleh para ilmuwan politik tersebut telah menimbulkan pemahaman yang kompleks tentang balance of power maupun hegemonic stability. Namun, di sini saya setuju dengan teori stabilitas hegemoni, dimana hegemoni akan sulit untuk dihapuskan karena tiap negara yang mempunyai hegemoni pasti akan senantiasa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi negara lain agar negara tersebut bisa dikendalikan oleh pemilik hegemoni.
DAFTAR PUSTAKA
Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations Third Edition. Palgrave Macmillan: New York.
Columbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power. Abardin: Bandung
Griffiths, Martin dan O’Callaghan, Terry. 2006. International Relation: The Key Concept. Routlage Key Guides: New York.
Mc Keown, Timothy J.. 1983. International Organization:Hegemonic Stability Theory and 19th Century Tarrif Levels in Eourope. MIT Press.
Morgenthau, Hans J.. 1973. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Knopf: New York.
Power merupakan sebuah konsep yang seringkali digunakan dalam ranah politik dan juga dalam lingkup hubungan internasional. Namun, sampai sekarang definisi mengenai konsep power itu sendiri masih menjadi sebuah perdebatan. Salah satu masalah yang diperdebatkan adalah apakah power dipandang sebagai sebuah atribut perseorangan, kelompok, atau negara bangsa, atau apakah power dianggap sebagai hubungan antara dua aktor politik yang memeiliki keinginan berbeda?
Secara harfiah, power berarti kekuatan atau kekuasaan. Menurut Nicholas J. Spykman, power didefinisikan sebagai kemampuan untuk menggerakkan manusia agar mengikuti kebiasaan yang diinginkan pemilik power melalui cara persuasi dan paksaan. Dari pengertian ini, power dapat dilakukan dengan menggunakan cara kekerasan seperti paksaan dan dengan cara coorperative seperti persuasi. Sedangkan Hans J. Morgenthau, salah satu tokoh pemikir realis, lebih suka mendefinisikan power sebagai suatu hubungan antara dua aktor politik, dimana aktor A memiliki kemampuan untuk mengontrol atau mengendalikan pemikiran serta tindakan aktor B.
Power terdiri dari segala sesuatu yang dimiliki manusia untuk menentukan dan memelihara kontrol atau kekuasaan atas orang lain dan dia (power) meliputi seluruh hubungan sosial, mulai dari kekerasan psikologis yang tidak kentara melaului mana seseorang bisa mengontrol orang lain. (Morgenthau, 1973: 9)
Sebagai unit multidimensional, power memiliki lima dimensi utama, dimana Deutsch mengemukakan tiga dimensi power (scope, domain, range) yang spesifik dan bisa diukur. Jadi, kelima dimensi power tersebut, meliputi scope (ruang lingkup), domain, range, costs dan means.
Pertama, melalui dimensi scope (ruang lingkup), Deustch ingin menunjukkan suatu kumpulan atau koleksi semua perilaku kelas-kelas tertentu, hubungan dan pergaulan yang secara efektif tunduk kepada power pemerintah. (Ibid: 34) Kumpulan tersebut meliputi semua jenis aktivitas pemerintah dalam lingkup internal dan eksternal.
Dimensi kedua, yaitu domain membahas tentang kepada apa dan siapa power tersebut dilaksanakan. Power tentunya biasa dilaksanakan terhadap rakyat, teritorial, dan kekayaan. Deutsch membagi domain menjadi dua bagian, yaitu internal domain (wilayah dan populasi dalam batas-batas suatu negara) dan eksternal domain (wilayah dan populasi di luar batas suatu negara tetapi masih termasuk ke dalam “wilayah pengaruh”).
Kemuadian, range didefinisikan sebagai sebuah perbedaan antara imbalan yang tertinggi (keikutsertaan) dengan hukuman terburuk (pencabutan hak) yang bisa dilimpahkan atau dibebankan oleh si pemegang power kepada beberapa orang di dalam domainnya. (Deutch: 32) Range power sendiri juga dapat dibagi menjadi dua komponen, yaitu komponen internal (menggunakan statistik anggaran belanja pemerintah dan menentukan berapa banyak pengeluaran pemerintah untuk keamanan umum dan kesejahteraan sosial) dan komponen eksternal (secara logis mengikuti bahasan range internal power).
Sedangkan yang dimaksud dengan costs adalah biaya yang dikeluarkan A dan B sama-sama relevan terhadap penilaian pengaruh. (Baldwin,1989) Artinya, besar kecilnya biaya yang dianjurkan oleh salah satu pihak berbanding lurus dengan penentuan pengaruh yang dijalankan.
Dimensi kelima adalah means. Oleh Baldwin (1985), ada beberapa kategori yang mampu mengklasifikasi jalur suatu pengaruh dalam hubungan internasional, yakni: jalur simbolik, jalur ekonomis, jalur militer, dan jalur diplomatis.
Karena power yang dimiliki oleh tiap-tiap negara itu berbeda-beda, maka perlu adanya suatu keseimbangan antara power yang dimiliki masing-masing negara, yang disebut sebagai balance of power. Perimbangan kekuatan (balance of power) bukanlah konsep yang mudah diukur. Ernst Hans mengasumsikan empat prasyarat bagi eksistensi sistem balance of power, yaitu (1) multiplisitas aktor-aktor politik yang berdaulat, yang muncul karena tidak adanya satu otoritas yang menguasai aktor-aktor tersebut; (2) distribusi kekuatan yang relatif tidak seimbang di antara aktor-aktor politik yang membentuk sistem tersebut (3) persaingan dan konflik yang berkesinambungan di antara aktor-aktor politik yang berdaulat; (4) pemahaman implisit di antara para pemimpin negara yang besar bahwa kesinambungan distribusi kekuatan akan menguntungkan mereka.
Balance of power dalam sistem kekuasaan ini muncul untuk menghasilkan tiga kondisi. Pertama, keberagaman kedaulatan negara yang mucul haruslah tidak tunduk pada keterpaksaan dari salah satu legitimasi kedaulatan negara lain yang lebih berkuasa. Kedua, kontrol secara terus-menerus dari kompetisi akibat langkanya sumber daya atau nilai-nilai konflik. Ketiga, menyamaratakan distribusi status, kekayaan, dan potensi power diantara aktor politik yang masuk dalam suatu sistem.
Secara sistemik, balance of power digunakan untuk mencegah terjadinya sistem hegemoni yang didefinisikan sebagai sebuah dominasi suatu negara terhadap negara atau kelompok negara lain. Dengan kata lain, balance of power ini muncul karena adanya suatu pengaruh besar dalam bidang militer dan teknologi oleh negara pemilik power yang besar, yang kemudian disebut sebagai hegemoni. Walaupun pada kenyataannya, hegemoni suatu negara itu tidak dapat dihilangkan dengan menggunakan sistem perimbangan kekuatan (balance of power).
Konsep hegemoni dalam hubungan internasional dapat diartikan sebagai sebuah negara yang memimpin suatu kelompok negara. Sedangkan hegemonic stability menjelaskan tentang keberadaan rezim yang memiliki daya tarik nyata dan menjelaskan bahwa sistem ekonomi internasional sebagai bentuk power daripada sebuah rational exchange. Adapun latar belakang dari teori hegemoni stabilitas ini karena adanya sistem anarki internasional yang sangat diagungkan oleh kaum neorealis. Anarki yang dimaksud ialah kompleksitas sistem kedaulatan negara yang memicu munculnya dilema keamanan (security dilemma). Asumsi dasar terbentuknya teori ini adalah adanya stabilitas sistem internasional yang membutuhkan dominasi tunggal sebuah negara dengan tujuan memperkuat aturan interaksi antar anggota yang paling penting dalam sistem internasional.
Menurut saya, dapat disimpulkan bahwa definisi dari konsep power yang beranekaragam dan masih menjadi perdebatan oleh para ilmuwan politik tersebut telah menimbulkan pemahaman yang kompleks tentang balance of power maupun hegemonic stability. Namun, di sini saya setuju dengan teori stabilitas hegemoni, dimana hegemoni akan sulit untuk dihapuskan karena tiap negara yang mempunyai hegemoni pasti akan senantiasa memiliki kemampuan untuk mempengaruhi negara lain agar negara tersebut bisa dikendalikan oleh pemilik hegemoni.
DAFTAR PUSTAKA
Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations Third Edition. Palgrave Macmillan: New York.
Columbis, Theodore A. dan James H. Wolfe. 1990. Pengantar Hubungan Internasional: Keadilan dan Power. Abardin: Bandung
Griffiths, Martin dan O’Callaghan, Terry. 2006. International Relation: The Key Concept. Routlage Key Guides: New York.
Mc Keown, Timothy J.. 1983. International Organization:Hegemonic Stability Theory and 19th Century Tarrif Levels in Eourope. MIT Press.
Morgenthau, Hans J.. 1973. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. Knopf: New York.
American Congress: Decision Making Quote
“In any moment of decision the best thing you can do is the right thing, the next best thing is the wrong thing, and the worst thing you can do is nothing.” (Theodore Roosevelt)
Baru-baru ini Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mendesak kongres untuk segera mengambil keputusan melalui pemungutan suara terbanyak. Beliau memaksa agar usulannya dalam reformasi kesehatan bisa segera dijalankan. Obama menginginkan kongres kembali kepada rancangan terbaru dari rencana US$ 950 triliun untuk melindungi warga Amerika Serikat yang tidak memiliki asuransi dan bayaran premi yang rendah. ”Saya meyakini Kongres Amerika Serikat berhutang kepada rakyat Amerika berupa sebuah keputusan akhir dalam reformasi kesehatan,” kata Obama dalam pidatonya di Gedung Putih.
Menurut saya, kata-kata bijak dari Theodore Roosevelt setidaknya bisa turut menanggapi hal di atas. Theodore Roosevelt, Jr. adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-26. Menjabat dua kali masa jabatan di tahun 1901 hingga 1909. Roosevelt adalah presiden Amerika Serikat yang termuda di usia 42 tahun. Saudara dekat dari Presiden Franklin Delano Roosevelt ini pernah mengungkapkan bahwa dalam berbagai kesempatan, memutuskan hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah hal yang benar. Hal terbaik berikutnya adalah hal yang buruk, dan hal terburuk yang bisa kamu lakukan adalah dengan tidak melakukan apapun.
Saya nampaknya setuju dengan pernyataan yang diungkapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt tersebut. Terus menunda-nunda tugas dan pekerjaan memang merupakan hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Begitu juga dalam hal pengambilan keputusan. Bisa diambil contoh di sini, seperti Kongres Amerika yang tidak segera mengambil keputusan terhadap pencanangan RUU Reformasi Kesehatan. Menurut saya, dengan tidak segera mengambil keputusan seperti itu sama halnya dengan menggantungkan nasib rakyat Amerika. Mereka pastinya juga mengharapkan sebuah keputusan yang terbaik dapat segera diambil.
Jika dilihat dari segi epistemologinya, pengambilan keputusan mermang merupakan sebuah solusi terbaik di dalam menyelesaikan berbagai macam masalah atau persoalan. Maka dari itu, berusalah mengambil sebuah keputusan yang kamu anggap itu paling benar untuk dilakukan. Tentunya itu akan jauh lebih baik daripada tidak melakukan apapun. Sebaiknya jangan menunda-nunda dalam mengambil suatu keputusan karena itu adalah hal yang tidak bagus. Dan dengan demikian, justru akan menyebabkan sebuah permasalahan tidak kunjung terselesaikan.
REFERENSI
http://cetak.batampos.co.id/categoryblog/2971-obama-desak-kongres-ambil-keputusan, diakses 13 April 2010.
http://quotations.about.com/od/stillmorefamouspeople/a/TheodoreRoosev2, diakses 13 April 2010.
Baru-baru ini Presiden Amerika Serikat, Barack Obama, mendesak kongres untuk segera mengambil keputusan melalui pemungutan suara terbanyak. Beliau memaksa agar usulannya dalam reformasi kesehatan bisa segera dijalankan. Obama menginginkan kongres kembali kepada rancangan terbaru dari rencana US$ 950 triliun untuk melindungi warga Amerika Serikat yang tidak memiliki asuransi dan bayaran premi yang rendah. ”Saya meyakini Kongres Amerika Serikat berhutang kepada rakyat Amerika berupa sebuah keputusan akhir dalam reformasi kesehatan,” kata Obama dalam pidatonya di Gedung Putih.
Menurut saya, kata-kata bijak dari Theodore Roosevelt setidaknya bisa turut menanggapi hal di atas. Theodore Roosevelt, Jr. adalah Presiden Amerika Serikat yang ke-26. Menjabat dua kali masa jabatan di tahun 1901 hingga 1909. Roosevelt adalah presiden Amerika Serikat yang termuda di usia 42 tahun. Saudara dekat dari Presiden Franklin Delano Roosevelt ini pernah mengungkapkan bahwa dalam berbagai kesempatan, memutuskan hal terbaik yang bisa kamu lakukan adalah hal yang benar. Hal terbaik berikutnya adalah hal yang buruk, dan hal terburuk yang bisa kamu lakukan adalah dengan tidak melakukan apapun.
Saya nampaknya setuju dengan pernyataan yang diungkapkan oleh mantan Presiden Amerika Serikat, Theodore Roosevelt tersebut. Terus menunda-nunda tugas dan pekerjaan memang merupakan hal yang tidak sepantasnya dilakukan. Begitu juga dalam hal pengambilan keputusan. Bisa diambil contoh di sini, seperti Kongres Amerika yang tidak segera mengambil keputusan terhadap pencanangan RUU Reformasi Kesehatan. Menurut saya, dengan tidak segera mengambil keputusan seperti itu sama halnya dengan menggantungkan nasib rakyat Amerika. Mereka pastinya juga mengharapkan sebuah keputusan yang terbaik dapat segera diambil.
Jika dilihat dari segi epistemologinya, pengambilan keputusan mermang merupakan sebuah solusi terbaik di dalam menyelesaikan berbagai macam masalah atau persoalan. Maka dari itu, berusalah mengambil sebuah keputusan yang kamu anggap itu paling benar untuk dilakukan. Tentunya itu akan jauh lebih baik daripada tidak melakukan apapun. Sebaiknya jangan menunda-nunda dalam mengambil suatu keputusan karena itu adalah hal yang tidak bagus. Dan dengan demikian, justru akan menyebabkan sebuah permasalahan tidak kunjung terselesaikan.
REFERENSI
http://cetak.batampos.co.id/categoryblog/2971-obama-desak-kongres-ambil-keputusan, diakses 13 April 2010.
http://quotations.about.com/od/stillmorefamouspeople/a/TheodoreRoosev2, diakses 13 April 2010.
American Congress System's Quote
“We have the best Congress money can buy.” (Will Rogers)
William Penn Adair Rogers (4 November 1879 – 15 Agustus 1935) adalah seorang aktor berkebangsaan Amerika. Ia sempat mengkritisi sistem kongres Amerika dengan mengatakan bahwa kita, dalam hal ini adalah rakyat Amerika, memiliki kongres yang baik, dimana kongres tersebut bisa dibeli dengan uang. Sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Will Rogers tersebut bagi saya adalah berupa sindiran atau kritiknya terhadap sistem kongres Amerika yang dinilai telah rusak akibat terjadi perputaran uang di dalamnya.
Sebagai contoh adalah perang yang dilancarkan oleh Amerika di Iraq, tidak hanya menebalkan kantong kontraktor-kontraktor raksasa Amerika, tapi juga membuat para wakil Kongres Amerika meraup untung yang tidak sedikit. Lebih dari 151 anggota Kongres Amerika memiliki saham lebih dari 250 miliar dolar di persusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan Departemen Pertahanan (Dephan) Amerika dalam perang Iraq.
Baru-baru ini, lembaga akuntan non-pemerintah, Office of Management and Budget (OMB) dalam laporannya menyebutkan bahwa perusahaan senjata, keamanan, dan jasa Amerika yang aktif di Iraq mendapat bayaran dari Dephan Amerika sebesar 275 miliar dolar hanya pada tahun 2006. Artinya setiap harinya mereka digaji sebesar 755 juta dolar.
Dengan mencermati kenyataan yang ada, tidak diragukan lagi bahwa perang Iraq juga dilatarbelakangi oleh keinginan-keinginan pribadi George W. Bush. Namun tentunya dia tidak bekerja sendiri, karena keuntungan luar biasa itu ternyata juga dirasakan oleh teman dan mereka-mereka yaang sependapat dengannya. Termasuk juga anggota Kongres Amerika.
Oleh karenanya, mereka yang tidak menyetujui penarikan mundur tentara Amerika dari bumi Iraq, tentu sangatlah berkepentingan di dalamnya. Mereka mungkin berharap bisa meraih laba yang lebih besar lagi. Dan hal ini terus berlanjut, sementara opini publik Amerika serta masyarakat internasional menilai Bush dan politik luar negerinya sebagai faktor utama dari munculnya segala bentuk permasalahan di Iraq.
William Penn Adair Rogers (4 November 1879 – 15 Agustus 1935) adalah seorang aktor berkebangsaan Amerika. Ia sempat mengkritisi sistem kongres Amerika dengan mengatakan bahwa kita, dalam hal ini adalah rakyat Amerika, memiliki kongres yang baik, dimana kongres tersebut bisa dibeli dengan uang. Sebuah pernyataan yang disampaikan oleh Will Rogers tersebut bagi saya adalah berupa sindiran atau kritiknya terhadap sistem kongres Amerika yang dinilai telah rusak akibat terjadi perputaran uang di dalamnya.
Sebagai contoh adalah perang yang dilancarkan oleh Amerika di Iraq, tidak hanya menebalkan kantong kontraktor-kontraktor raksasa Amerika, tapi juga membuat para wakil Kongres Amerika meraup untung yang tidak sedikit. Lebih dari 151 anggota Kongres Amerika memiliki saham lebih dari 250 miliar dolar di persusahaan-perusahaan yang bekerja sama dengan Departemen Pertahanan (Dephan) Amerika dalam perang Iraq.
Baru-baru ini, lembaga akuntan non-pemerintah, Office of Management and Budget (OMB) dalam laporannya menyebutkan bahwa perusahaan senjata, keamanan, dan jasa Amerika yang aktif di Iraq mendapat bayaran dari Dephan Amerika sebesar 275 miliar dolar hanya pada tahun 2006. Artinya setiap harinya mereka digaji sebesar 755 juta dolar.
Dengan mencermati kenyataan yang ada, tidak diragukan lagi bahwa perang Iraq juga dilatarbelakangi oleh keinginan-keinginan pribadi George W. Bush. Namun tentunya dia tidak bekerja sendiri, karena keuntungan luar biasa itu ternyata juga dirasakan oleh teman dan mereka-mereka yaang sependapat dengannya. Termasuk juga anggota Kongres Amerika.
Oleh karenanya, mereka yang tidak menyetujui penarikan mundur tentara Amerika dari bumi Iraq, tentu sangatlah berkepentingan di dalamnya. Mereka mungkin berharap bisa meraih laba yang lebih besar lagi. Dan hal ini terus berlanjut, sementara opini publik Amerika serta masyarakat internasional menilai Bush dan politik luar negerinya sebagai faktor utama dari munculnya segala bentuk permasalahan di Iraq.
American Fundamental Principle's Quotation
“My basic principle is that you don't make decisions because they are easy; you don't make them because they are cheap; you don't make them because they're popular; you make them because they're right.” (Theodore Hesburgh)
Dalam quotation di atas, Theodore Hesburgh, seorang pemuka agama sekaligus kepala salah satu universitas di Amerika pernah mengatakan bahwa prinsip dasarnya adalah bahwa kalian tidak membuat suatu keputusan karena semua itu mudah; kamu tidak membuatnya karena semua itu murah; kamu tidak membuatnya karena semua itu terkenal; kamu membuatnya karena semua itu benar.
Pemerintahan Amerika itu sendiri didasarkan atas lima prinsip utama, yaitu (1) persetujuan pemerintah, dimana rakyat berkedudukan sebagai sumber dari kekuatan pemerintahan; (2) pemerintahan yang tebatas atau pemerintah tidak berkuasa sepenuhnya; (3) rule of law, dimana pemerintahan dan siapa yang memerintah, keduanya dibatasi oleh hukum; (4) demokrasi, dimana di dalam sebuah sistem demokrasi rakyat lah yang memegang peran penting dalam pemerintahan; (5) perwakilan pemerintah, dimana dalam suatu sistem perwakilan pemerintah, rakyat memilih pejabat negara untuk menetapkan suatu kebijakan dan memimpin pemerintahan di atas kepentingan mereka sendiri.
Berdasarkan quotation Theodore Hesburgh yang telah tersebut di atas, saya bisa menilai bahwa kelima prinsip dasar dalam pemerintahan Amerika itu di buat karena memang semua itu diyakini kebenarannya. Pemerintah Amerika tidak memutuskan sebuah prinsip karena semua itu mudah, murah, atau terkenal. Tapi karena semua itu benar.
Benar dalam artian di sini adalah tidak merugikan salah satu pihak, terutama rakyat Amerika. Benar di sini berarti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam sistem pemerintahan Amerika. Seorang pejabat negara harus meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongannya. Sama halnya dengan rakyat, mereka harus bersedia melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dan kesemuanya itu diatur dan dibatasi oleh hukum. Jika dalam hal ini ada suatu hubungan timbal balik atau bisa dibilang suatu kerjasama yang baik antara pihak pemerintah dengan rakyat, maka sistem pemerintahan Amerika seharusnya bisa berjalan dengan baik sesuai dengan kelima prinsip dasar Amerika tersebut.
Dalam quotation di atas, Theodore Hesburgh, seorang pemuka agama sekaligus kepala salah satu universitas di Amerika pernah mengatakan bahwa prinsip dasarnya adalah bahwa kalian tidak membuat suatu keputusan karena semua itu mudah; kamu tidak membuatnya karena semua itu murah; kamu tidak membuatnya karena semua itu terkenal; kamu membuatnya karena semua itu benar.
Pemerintahan Amerika itu sendiri didasarkan atas lima prinsip utama, yaitu (1) persetujuan pemerintah, dimana rakyat berkedudukan sebagai sumber dari kekuatan pemerintahan; (2) pemerintahan yang tebatas atau pemerintah tidak berkuasa sepenuhnya; (3) rule of law, dimana pemerintahan dan siapa yang memerintah, keduanya dibatasi oleh hukum; (4) demokrasi, dimana di dalam sebuah sistem demokrasi rakyat lah yang memegang peran penting dalam pemerintahan; (5) perwakilan pemerintah, dimana dalam suatu sistem perwakilan pemerintah, rakyat memilih pejabat negara untuk menetapkan suatu kebijakan dan memimpin pemerintahan di atas kepentingan mereka sendiri.
Berdasarkan quotation Theodore Hesburgh yang telah tersebut di atas, saya bisa menilai bahwa kelima prinsip dasar dalam pemerintahan Amerika itu di buat karena memang semua itu diyakini kebenarannya. Pemerintah Amerika tidak memutuskan sebuah prinsip karena semua itu mudah, murah, atau terkenal. Tapi karena semua itu benar.
Benar dalam artian di sini adalah tidak merugikan salah satu pihak, terutama rakyat Amerika. Benar di sini berarti cocok dan tepat untuk diterapkan dalam sistem pemerintahan Amerika. Seorang pejabat negara harus meletakkan kepentingan rakyat di atas kepentingan pribadi atau golongannya. Sama halnya dengan rakyat, mereka harus bersedia melaksanakan kebijakan yang telah ditetapkan oleh pemerintah. Dan kesemuanya itu diatur dan dibatasi oleh hukum. Jika dalam hal ini ada suatu hubungan timbal balik atau bisa dibilang suatu kerjasama yang baik antara pihak pemerintah dengan rakyat, maka sistem pemerintahan Amerika seharusnya bisa berjalan dengan baik sesuai dengan kelima prinsip dasar Amerika tersebut.
Jumat, 16 April 2010
TEORI HUBUNGAN INTERNASIONAL: MARXISME DAN NEO-MARXISME
Oleh: Dinar Prisca Putri
Kita tentunya telah mengenal beberapa teori dalam studi hubungan internasional. Pada minggu-minggu sebelumnya, kita telah selesai membahas teori realisme dan neo-realisme yang merupakan dua teori paling dominan dalam studi hubungan internasional, serta teori liberalisme dan neo-liberalisme. Sedangkan pada topik kali ini akan mengangkat seputar keberadaan teori marxisme dan neo-marxisme yang juga patut kita pelajari dalam studi hubungan internasional.
Marxisme merupakan sebuah teori dalam hubungan internasional yang dipelopori pertama kali oleh Karl Marx. Pada tahun 1847, Marx menyatakan bahwa sistem komunis harus dilawan tanpa kompromi. Dimana kaum kelas bawah, dalam hal ini adalah kaum proletariat (kaum buruh) harus senantiasa diberdayakan demi menciptakan suatu sistem masyarakat yang adil, tanpa terpecah ke dalam kelas-kelas.
Asumsi dasar dari teori marxisme itu sendiri, antara lain (1) berpandangan optimis terhadap gambaran tentang manusia; (2) dalam hubungan internasional, proses penyatuan human race dalam suatu dinamika kapitalisme dianggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional; (3) berbeda dengan pandangan kaum realis dan liberal tentang konflik dan kerjasama, marxisme lebih berfokus pada aspek ekonomi dan materi, dimana ekonomi dinilai lebih penting dibandingkan persoalan-persoalan yang lain sehingga dapat memfokuskan studi pada upaya peningkatan kelas.
Kaum marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital). Karl Marx sendiri mengakui bahwa adanya sistem kapitalis akan mampu mengeliminir keberadaan kelas dan mampu mendominasi sistem internasional. Melihat realita tersebut, para penganut marxis juga percaya bahwa suatu saat nanti dengan adanya revolusi politik akan mampu menghapuskan sistem kapitalis dan akan digantikan oleh sistem sosialis. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sistem kapitalis yang ada saat ini hanya akan menguntungkan satu pihak saja, yaitu kaum kapitalis atau pemilik modal. Dalam sistem internasional, marxisme membawa pengaruh kuat dalam perekonomian dunia, dimana kesetaraan dan kebebasan setiap elemen masyarakat mutlak dijunjung tinggi.
Sedangkan yang menjadi agenda utama dari marxisme ialah adanya pemahaman terhadap komunitas sosialis yang mungkin akan menggantikan proses eksploitasi dan ketidaksetaraan melalui suatu asas kebebasan dan kooperasi.
Sementara itu, aktor paling dominan yang berperan penting dalam teori marxisme adalah kelas-kelas tanpa terkecuali. Dalam teori marxis, negara bahkan dianggap tidak ada karena negara sendiri dinilai dapat menjadi suatu penghambat dalam upaya pencapaian kesejahteraan individu. Dalam hal ini, baik kaum borjuis maupun proletar harus mampu bekerjasama demi tercapainya perdamaian dan strabilitas keamanan internasional.
Dalam upaya menegakkan perdamaian dan stabilitas keamanan internasional, teori marxisme ini mengedepankan adanya penghapusan kelas-kelas. Sehingga jika kelas-kelas tersebut dihapuskan, maka tidak akan ada lagi konflik-konflik antar kelas yang terjadi. Karena pembentukan kelas-kelas, menurut marxisme, merupakan faktor utama yang memicu terjadinya konflik.
Sedangkan pada neo-marxisme, gagasan-gagasan awal Marx masih dipakai sebagai landasan untuk melepaskan manusia dari belenggu eksploitasi dan ketidaksetaraan. Asumsi dasar dari neo-marxisme pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan asumsi marxisme. Hanya saja jika dibandingkan dengan marxisme, asumsi neo-marxisme lebih bersifat struktural. Yang diasumsikan oleh neo-marxisme adalah sistem internasional yang terbagi berdasarkan kelas, menurut Immanuel Wallerstein, yaitu core, semi-periphery, dan periphery. Core adalah negara-negara yang dominan dalam dunia, yang sebagian besar adalah kaum kapitalis. Sebagai contoh Amerika Serikat dan Inggris. Semi-periphery adalah negara dunia kedua dengan tingkat perekonomian yang cukup baik, sehingga berpengaruh dalam dunia. Contohnya India dan China. Sedangkan negara periphery adalah negara dunia ketiga, yaitu negara berkembang. Negara-negara kelas periphery ini sebagian besar berada pada kawasan Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Pada intinya, neo-marxisme membuat sistem internasional dunia menjadi terstruktur, sehingga terdapat sistem tersendiri dalam hubungan antar negara.
Neo-marxisme juga memberikan analisisnya tentang kelas sebagai aktor utama dalam hubungan internasional dan keadilan atau kesetaraan internasional sebagai landasan terpenting. Perbedaan yang paling mendasar antara neo-marxisme dan marxisme adalah kemampuannya yang lebih bersifat konseptual dan metodologis dalam menggunakan teori-teori yang disusun oleh Marx.
Neo-marxisme sendiri, seperti yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya merupakan hasil dari teori marxisme. Sehingga aktor dan agenda utama dari teori neo-mearxisme tidak jauh berbeda dengan teori marxisme. Upaya dalam pencapaian perdamaian dan stabilitas keamanan internasional juga hampir sama. Pencapaian perdamaian menurut teori neo-marxisme adalah dengan cara kerjasama antar kelas-kelas sosial yang ada.
Saya pribadi, secara garis besar menyetujui upaya penghapusan kelas-kelas yang diusung oleh teori marxisme dan neo-marxisme. Sehingga pengeksploitasian dari negara-negara kapitalis bisa diminimalisir. Menurut saya, tiap-tiap kelas, seperti kelas borjuis dan proletar dalam teori marxisme, seharusnya bisa saling bekerjasama demi terwujudnya suatu perdamaian dan stabilitas keamanan internasional. Karena jika terdapat salah satu pihak saja yang mendominasi, maka akan berpengaruh terhadap sistem perpolitikan internasional.
Namun menurut sejarah, kelas-kelas yang ada tersebut sulit untuk ditingkatkan, seperti negara-negara yang berada di kelas periphery akan sulit untuk meningkatkan kelasnya menjadi semi-periphery atau core. Bisa dipahami bahwa teori marxisme dan neo-marxisme ingin menghilangkan kelas-kelas tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini akan sulit untuk diwujudkan, mengingat eksploitasi yang terjadi oleh kelas tertentu terhadap kelas lainnya masih sangat mendominasi dan masih sangat kentalnya teori interdependensi.
DAFTAR PUSTAKA
Linklater, Andrew. 2005. Theories of International Relations Third Edition: Marxism. New York: Palgrave Macmillan.
Wallerstein, Immanuel. 1996. Internaional Theory:Positivism and Beyond. Cambrigde University Press.
http://www.marxists.org/indonesia/archive/plekhanov/problems.pdf
Kita tentunya telah mengenal beberapa teori dalam studi hubungan internasional. Pada minggu-minggu sebelumnya, kita telah selesai membahas teori realisme dan neo-realisme yang merupakan dua teori paling dominan dalam studi hubungan internasional, serta teori liberalisme dan neo-liberalisme. Sedangkan pada topik kali ini akan mengangkat seputar keberadaan teori marxisme dan neo-marxisme yang juga patut kita pelajari dalam studi hubungan internasional.
Marxisme merupakan sebuah teori dalam hubungan internasional yang dipelopori pertama kali oleh Karl Marx. Pada tahun 1847, Marx menyatakan bahwa sistem komunis harus dilawan tanpa kompromi. Dimana kaum kelas bawah, dalam hal ini adalah kaum proletariat (kaum buruh) harus senantiasa diberdayakan demi menciptakan suatu sistem masyarakat yang adil, tanpa terpecah ke dalam kelas-kelas.
Asumsi dasar dari teori marxisme itu sendiri, antara lain (1) berpandangan optimis terhadap gambaran tentang manusia; (2) dalam hubungan internasional, proses penyatuan human race dalam suatu dinamika kapitalisme dianggap sebagai driving forces dalam tingkat interdependensi internasional; (3) berbeda dengan pandangan kaum realis dan liberal tentang konflik dan kerjasama, marxisme lebih berfokus pada aspek ekonomi dan materi, dimana ekonomi dinilai lebih penting dibandingkan persoalan-persoalan yang lain sehingga dapat memfokuskan studi pada upaya peningkatan kelas.
Kaum marxis memandang sistem internasional sebagai sistem kapitalis terintegrasi yang mengejar akumulasi modal (kapital). Karl Marx sendiri mengakui bahwa adanya sistem kapitalis akan mampu mengeliminir keberadaan kelas dan mampu mendominasi sistem internasional. Melihat realita tersebut, para penganut marxis juga percaya bahwa suatu saat nanti dengan adanya revolusi politik akan mampu menghapuskan sistem kapitalis dan akan digantikan oleh sistem sosialis. Tidak dapat dipungkiri lagi bahwa sistem kapitalis yang ada saat ini hanya akan menguntungkan satu pihak saja, yaitu kaum kapitalis atau pemilik modal. Dalam sistem internasional, marxisme membawa pengaruh kuat dalam perekonomian dunia, dimana kesetaraan dan kebebasan setiap elemen masyarakat mutlak dijunjung tinggi.
Sedangkan yang menjadi agenda utama dari marxisme ialah adanya pemahaman terhadap komunitas sosialis yang mungkin akan menggantikan proses eksploitasi dan ketidaksetaraan melalui suatu asas kebebasan dan kooperasi.
Sementara itu, aktor paling dominan yang berperan penting dalam teori marxisme adalah kelas-kelas tanpa terkecuali. Dalam teori marxis, negara bahkan dianggap tidak ada karena negara sendiri dinilai dapat menjadi suatu penghambat dalam upaya pencapaian kesejahteraan individu. Dalam hal ini, baik kaum borjuis maupun proletar harus mampu bekerjasama demi tercapainya perdamaian dan strabilitas keamanan internasional.
Dalam upaya menegakkan perdamaian dan stabilitas keamanan internasional, teori marxisme ini mengedepankan adanya penghapusan kelas-kelas. Sehingga jika kelas-kelas tersebut dihapuskan, maka tidak akan ada lagi konflik-konflik antar kelas yang terjadi. Karena pembentukan kelas-kelas, menurut marxisme, merupakan faktor utama yang memicu terjadinya konflik.
Sedangkan pada neo-marxisme, gagasan-gagasan awal Marx masih dipakai sebagai landasan untuk melepaskan manusia dari belenggu eksploitasi dan ketidaksetaraan. Asumsi dasar dari neo-marxisme pada dasarnya tidak jauh berbeda dengan asumsi marxisme. Hanya saja jika dibandingkan dengan marxisme, asumsi neo-marxisme lebih bersifat struktural. Yang diasumsikan oleh neo-marxisme adalah sistem internasional yang terbagi berdasarkan kelas, menurut Immanuel Wallerstein, yaitu core, semi-periphery, dan periphery. Core adalah negara-negara yang dominan dalam dunia, yang sebagian besar adalah kaum kapitalis. Sebagai contoh Amerika Serikat dan Inggris. Semi-periphery adalah negara dunia kedua dengan tingkat perekonomian yang cukup baik, sehingga berpengaruh dalam dunia. Contohnya India dan China. Sedangkan negara periphery adalah negara dunia ketiga, yaitu negara berkembang. Negara-negara kelas periphery ini sebagian besar berada pada kawasan Asia, Amerika Selatan, dan Afrika. Pada intinya, neo-marxisme membuat sistem internasional dunia menjadi terstruktur, sehingga terdapat sistem tersendiri dalam hubungan antar negara.
Neo-marxisme juga memberikan analisisnya tentang kelas sebagai aktor utama dalam hubungan internasional dan keadilan atau kesetaraan internasional sebagai landasan terpenting. Perbedaan yang paling mendasar antara neo-marxisme dan marxisme adalah kemampuannya yang lebih bersifat konseptual dan metodologis dalam menggunakan teori-teori yang disusun oleh Marx.
Neo-marxisme sendiri, seperti yang telah dijelaskan di atas, sebenarnya merupakan hasil dari teori marxisme. Sehingga aktor dan agenda utama dari teori neo-mearxisme tidak jauh berbeda dengan teori marxisme. Upaya dalam pencapaian perdamaian dan stabilitas keamanan internasional juga hampir sama. Pencapaian perdamaian menurut teori neo-marxisme adalah dengan cara kerjasama antar kelas-kelas sosial yang ada.
Saya pribadi, secara garis besar menyetujui upaya penghapusan kelas-kelas yang diusung oleh teori marxisme dan neo-marxisme. Sehingga pengeksploitasian dari negara-negara kapitalis bisa diminimalisir. Menurut saya, tiap-tiap kelas, seperti kelas borjuis dan proletar dalam teori marxisme, seharusnya bisa saling bekerjasama demi terwujudnya suatu perdamaian dan stabilitas keamanan internasional. Karena jika terdapat salah satu pihak saja yang mendominasi, maka akan berpengaruh terhadap sistem perpolitikan internasional.
Namun menurut sejarah, kelas-kelas yang ada tersebut sulit untuk ditingkatkan, seperti negara-negara yang berada di kelas periphery akan sulit untuk meningkatkan kelasnya menjadi semi-periphery atau core. Bisa dipahami bahwa teori marxisme dan neo-marxisme ingin menghilangkan kelas-kelas tersebut. Tetapi tidak bisa dipungkiri bahwa hal ini akan sulit untuk diwujudkan, mengingat eksploitasi yang terjadi oleh kelas tertentu terhadap kelas lainnya masih sangat mendominasi dan masih sangat kentalnya teori interdependensi.
DAFTAR PUSTAKA
Linklater, Andrew. 2005. Theories of International Relations Third Edition: Marxism. New York: Palgrave Macmillan.
Wallerstein, Immanuel. 1996. Internaional Theory:Positivism and Beyond. Cambrigde University Press.
http://www.marxists.org/indonesia/archive/plekhanov/problems.pdf
Selasa, 30 Maret 2010
MASIH
Masih berkutat dengan laptop hingga saat tengah malam.
Ditemani cicit tikus yang bersahutan dari balik selokan. Baunya tak kalah hebat.
Diikuti alunan musik tetangga yang disetel kencang-kencang. Heran.
Sampai tengah malam. Masih dikejar-kejar tugas yang belum juga tuntas.
Benar-benar melelahkan. Namun terkadang mengasyikkan.
Dinar Prisca Putri
Surabaya, 31 Maret 2010
Ditemani cicit tikus yang bersahutan dari balik selokan. Baunya tak kalah hebat.
Diikuti alunan musik tetangga yang disetel kencang-kencang. Heran.
Sampai tengah malam. Masih dikejar-kejar tugas yang belum juga tuntas.
Benar-benar melelahkan. Namun terkadang mengasyikkan.
Dinar Prisca Putri
Surabaya, 31 Maret 2010
Senin, 29 Maret 2010
MENILIK PEMIKIRAN LIBERALISME DAN NEOLIBERALISME
Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
Pada bahasan sebelumnya, telah dikaji secara singkat perihal paradigma realisme dan neorealisme yang merupakan dua prespektif paling dominan dalam studi hubungan internasional. Sedangkan dalam bahasan kali ini, saya akan mencoba menilik lebih jauh perihal pemikiran liberalisme dan neoliberalisme. Kembali saya akan menekankan pembahasan kedua prespektif tersebut dalam hal asumsi-asumsi apa saja yang mendasari keduanya, sistem internasional, agenda utama dan aktor utama dari kedua prespektif, serta pandangan mereka terhadap perdamaian dan stabilitas keamanan.
Bertentangan dengan asumsi-asumsi yang mendasari paham realisme, kaum liberal justru cenderung berpikiran positif dan optimis terhadap segala hal, terutama terhadap sifat dasar manusia, penilaian tentang hubungan internasional, serta keyakinan mereka terhadap kemajuan. Asumsi-asumsi dasar liberalisme itu sendiri, antara lain (1) pandangan positif tentang sifat dasar manusia; (2) adanya keyakinan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual; (3) bersikap optimis dan percaya terhadap kemajuan.
Kaum liberal umumnya memberikan pandangan yang positif terhadap sifat manusia. Mereka meiliki keyakinan besar bahwa akal pikiran dan rasionalitas yang dimiliki manusia dapat membantu dalam memacahkan berbagai masalah internasional. Kaum liberal menyadari bahwa konflik dan perang tidak dapat dihindarkan. Namun ketika manusia meenggunakan akal pikirannya, mereka dapat mencapai suatu kerjasama yang saling menguntungkan, bukan hanya dalam lingkup negara tetapi juga lintas batas internasional.
Tradisi liberal dalam HI sangat erat kaitannya dengan munculnya negara liberal modern. Filsuf liberal, dimulai dari John Locke di abad ketujuhbelas, melihat potensi besar bagi kemajuan manusia dalam civil society dan perekonomian kapitalis modern. Dan keduanya dapat berkembang dalam negara-negara yang menjamin kebebasan individu. Modernitas membentuk kehidupan baru yang lebih baik, dengan adanya kebebasan dari pemerintah yang otoriter serta tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Proses modernisasi juga mengakibatkan meningkatnya kemajuan dalam bidang teknologi. Di sinilah merupakan dasar dari keyakinan kaum liberal terhadap kemajuan.
Kaum realis kemudian menyikapi secara kritis terhadap pandangan kaum liberal. Paham realisme menganggap bahwa sistem internasional yang anarki tidak dapat dihilangkan dalam hubungan antarnegara. Oleh karena itu, optimisme kaum liberal tentang terwujudnya perdamaian dunia yang dicita-citakan tidak dapat dijamin.
Pertentangan kaum realis kemudian dijawab secara berbeda oleh kelompok liberal. Kelompok pertama yang disebut sebagai ‘liberalisme lemah’ dapat menerima beberapa kritikan kaum realis tentang kekekalan sistem internasional yang anarki. Sedangkan kelompok kedua yang dikenal sebagai ‘liberalisme kuat’ menegaskan bahwa anarki tidak selalu bermakna negatif, selama negara-negara demokrasi liberal dapat terkonsolidasi dengan baik dalam hubungan internasionalnya.
Liberalisme merupakan suatu paham yang menempatkan kebebasan individu pada level tertinggi di atas segalanya. Oleh sebab itu, agenda utama dari liberalisme adalah pembentukan kepentingan bersama dari tiap-tiap individu. Atau bisa dikatakan bahwa fokus utama dari paham liberal terletak pada manusia secara individual.
Aktor yang paling dominan dalam prespektif liberalisme ini adalah state dan non-state. Hal ini dikarenakan prespektif liberalisme menganggap individu sebagai aktor non-state yang bisa berusaha untuk memakmurkan dirinya sendiri. Sedangkan negara bertindak sebagai pengawas dan pembuat aturan atau kebijakan untuk semua tindakan yang dilakukan oleh individu agar tidak terjadi suatu penyelewengan.
Liberalisme erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan kebebasan tiap-tiap individu untuk melepaskan dirinya dari batas-batas kemiskinan dan budaya dalam menggantungkan nasibnya. Sehingga dalam hal ini tiap individu lebih menekankan sifat egois, namun juga tetap menekankan pada kerjasama. Namun individu dalam teori liberalisme bisa dikatakan baik karena dalam pembentukan perdamaian dan stabilitas keamanan tidak mengutamakan kekuatan militer, melainkan dengan cara membentuk kerjasama.
Setelah liberalisme, akan dilanjutkan mengenai paham neoliberalisme. Neoliberalisme dikembangkan dalam upaya untuk merespon tentang bagaimana menjelaskan bentuk-bentuk cooperation di dalam dunia yang anarki. Neoliberalisme berasumsi bahwa untuk mengumpulkan negara-negara menjadi suatu perkumpulan yang dapat melakukan suatu kegiatan bersama untuk mencapai perdamaian, maka negara-negara tersebut harus mengatasi serangkaian collective-action problems. Sehingga dalam sistem internasionalnya, paham neoliberalisme tidak menganggap bahwa suatu mekanisme pelaksanaan yang bersifat eksternal tidak terlalu tampak. Oleh karena itu, setiap perjanjian harus memaksa tiap individu untuk melakukan perjanjian tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa setiap negara harus menghindari kemungkinan berbuat curang.
Sama halnya dengan liberalisme, teori neoliberalisme juga menetapkan kebebasan individu sebagai agenda utamanya. Namun dalam hal ini liberalisme lebih menekankan individu sebagai aktor utama dalam meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan menolak anggapan kaum realis tentang negara sebagai aktor utama. Jadi, dalam liberalisme negara dianggap sebagai aktor yang tidak begitu penting, sedangkan dalam neoliberalisme negara dianggap sebagai aktor yang sangat penting. Karena jika negara sebagai institusi tidak dianggap penting sebagai aktor, maka kerjasama antarnegara akan sulit tercapai.
Perbedaan antara liberalisme dan neoliberalisme didasarkan pada pandangan neoliberalisme oleh Hayek yang mengatakan bahwa neoliberalisme menganggap aktor negara yang kuatlah yang bisa mencapai kepentingannya. Namun dalam penerapannya ada intervensi-intervensi dari luar dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah, yaitu intervensi golongan kapitalisme. Sehingga dalam teori neoliberalisme, pembentukan ideologi akan mengalah pada sistem kapital. Sedangkan dalam hal pembentukan perdamaian, sama dengan pembentukan perdamaian pada teori liberalisme, yaitu dengan pembentukan global goverment. Jadi, teori liberalisme dan neoliberalisme mempunyai kesamaan dalam bidang kebebasan individu dan pembentukan perdamaian dengan tidak menggunakan aspek militer.
Manurut saya, teori liberalisme dan neoliberalisme sangat bagus dalam penerapan kebebasan individu. Sehingga tiap individu bisa terus mencari inovasi baru dalam meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Dalam pembentukan perdamaian juga saya rasa cukup cemerlang dengan meniadakan suatu tindakan militer dalam proses perdamaian.
Namun dengan adanya intervensi dari kaum kapitalis, menyebabkan idealisme suatu negara dapat termakan oleh intervensi-intervensi kaum kapitalis. Sehingga dalam pembentukan kebijakan politik, akan ada perubahan ideologi di dalam negara tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya suatu filerisasi terhadap pihak-pihak kapitalis yang bisa mengintervensi kebijakan-kebijakan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. New York: Palgrave Macmillan.
Jackson, Robert dan George Sorensen.1999. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
Pada bahasan sebelumnya, telah dikaji secara singkat perihal paradigma realisme dan neorealisme yang merupakan dua prespektif paling dominan dalam studi hubungan internasional. Sedangkan dalam bahasan kali ini, saya akan mencoba menilik lebih jauh perihal pemikiran liberalisme dan neoliberalisme. Kembali saya akan menekankan pembahasan kedua prespektif tersebut dalam hal asumsi-asumsi apa saja yang mendasari keduanya, sistem internasional, agenda utama dan aktor utama dari kedua prespektif, serta pandangan mereka terhadap perdamaian dan stabilitas keamanan.
Bertentangan dengan asumsi-asumsi yang mendasari paham realisme, kaum liberal justru cenderung berpikiran positif dan optimis terhadap segala hal, terutama terhadap sifat dasar manusia, penilaian tentang hubungan internasional, serta keyakinan mereka terhadap kemajuan. Asumsi-asumsi dasar liberalisme itu sendiri, antara lain (1) pandangan positif tentang sifat dasar manusia; (2) adanya keyakinan bahwa hubungan internasional dapat bersifat kooperatif daripada konfliktual; (3) bersikap optimis dan percaya terhadap kemajuan.
Kaum liberal umumnya memberikan pandangan yang positif terhadap sifat manusia. Mereka meiliki keyakinan besar bahwa akal pikiran dan rasionalitas yang dimiliki manusia dapat membantu dalam memacahkan berbagai masalah internasional. Kaum liberal menyadari bahwa konflik dan perang tidak dapat dihindarkan. Namun ketika manusia meenggunakan akal pikirannya, mereka dapat mencapai suatu kerjasama yang saling menguntungkan, bukan hanya dalam lingkup negara tetapi juga lintas batas internasional.
Tradisi liberal dalam HI sangat erat kaitannya dengan munculnya negara liberal modern. Filsuf liberal, dimulai dari John Locke di abad ketujuhbelas, melihat potensi besar bagi kemajuan manusia dalam civil society dan perekonomian kapitalis modern. Dan keduanya dapat berkembang dalam negara-negara yang menjamin kebebasan individu. Modernitas membentuk kehidupan baru yang lebih baik, dengan adanya kebebasan dari pemerintah yang otoriter serta tingkat kesejahteraan yang lebih tinggi. Proses modernisasi juga mengakibatkan meningkatnya kemajuan dalam bidang teknologi. Di sinilah merupakan dasar dari keyakinan kaum liberal terhadap kemajuan.
Kaum realis kemudian menyikapi secara kritis terhadap pandangan kaum liberal. Paham realisme menganggap bahwa sistem internasional yang anarki tidak dapat dihilangkan dalam hubungan antarnegara. Oleh karena itu, optimisme kaum liberal tentang terwujudnya perdamaian dunia yang dicita-citakan tidak dapat dijamin.
Pertentangan kaum realis kemudian dijawab secara berbeda oleh kelompok liberal. Kelompok pertama yang disebut sebagai ‘liberalisme lemah’ dapat menerima beberapa kritikan kaum realis tentang kekekalan sistem internasional yang anarki. Sedangkan kelompok kedua yang dikenal sebagai ‘liberalisme kuat’ menegaskan bahwa anarki tidak selalu bermakna negatif, selama negara-negara demokrasi liberal dapat terkonsolidasi dengan baik dalam hubungan internasionalnya.
Liberalisme merupakan suatu paham yang menempatkan kebebasan individu pada level tertinggi di atas segalanya. Oleh sebab itu, agenda utama dari liberalisme adalah pembentukan kepentingan bersama dari tiap-tiap individu. Atau bisa dikatakan bahwa fokus utama dari paham liberal terletak pada manusia secara individual.
Aktor yang paling dominan dalam prespektif liberalisme ini adalah state dan non-state. Hal ini dikarenakan prespektif liberalisme menganggap individu sebagai aktor non-state yang bisa berusaha untuk memakmurkan dirinya sendiri. Sedangkan negara bertindak sebagai pengawas dan pembuat aturan atau kebijakan untuk semua tindakan yang dilakukan oleh individu agar tidak terjadi suatu penyelewengan.
Liberalisme erat kaitannya dengan pertumbuhan ekonomi dan kebebasan tiap-tiap individu untuk melepaskan dirinya dari batas-batas kemiskinan dan budaya dalam menggantungkan nasibnya. Sehingga dalam hal ini tiap individu lebih menekankan sifat egois, namun juga tetap menekankan pada kerjasama. Namun individu dalam teori liberalisme bisa dikatakan baik karena dalam pembentukan perdamaian dan stabilitas keamanan tidak mengutamakan kekuatan militer, melainkan dengan cara membentuk kerjasama.
Setelah liberalisme, akan dilanjutkan mengenai paham neoliberalisme. Neoliberalisme dikembangkan dalam upaya untuk merespon tentang bagaimana menjelaskan bentuk-bentuk cooperation di dalam dunia yang anarki. Neoliberalisme berasumsi bahwa untuk mengumpulkan negara-negara menjadi suatu perkumpulan yang dapat melakukan suatu kegiatan bersama untuk mencapai perdamaian, maka negara-negara tersebut harus mengatasi serangkaian collective-action problems. Sehingga dalam sistem internasionalnya, paham neoliberalisme tidak menganggap bahwa suatu mekanisme pelaksanaan yang bersifat eksternal tidak terlalu tampak. Oleh karena itu, setiap perjanjian harus memaksa tiap individu untuk melakukan perjanjian tersebut. Hal ini menunjukkan bahwa setiap negara harus menghindari kemungkinan berbuat curang.
Sama halnya dengan liberalisme, teori neoliberalisme juga menetapkan kebebasan individu sebagai agenda utamanya. Namun dalam hal ini liberalisme lebih menekankan individu sebagai aktor utama dalam meningkatkan kesejahteraannya sendiri dan menolak anggapan kaum realis tentang negara sebagai aktor utama. Jadi, dalam liberalisme negara dianggap sebagai aktor yang tidak begitu penting, sedangkan dalam neoliberalisme negara dianggap sebagai aktor yang sangat penting. Karena jika negara sebagai institusi tidak dianggap penting sebagai aktor, maka kerjasama antarnegara akan sulit tercapai.
Perbedaan antara liberalisme dan neoliberalisme didasarkan pada pandangan neoliberalisme oleh Hayek yang mengatakan bahwa neoliberalisme menganggap aktor negara yang kuatlah yang bisa mencapai kepentingannya. Namun dalam penerapannya ada intervensi-intervensi dari luar dalam pembuatan kebijakan oleh pemerintah, yaitu intervensi golongan kapitalisme. Sehingga dalam teori neoliberalisme, pembentukan ideologi akan mengalah pada sistem kapital. Sedangkan dalam hal pembentukan perdamaian, sama dengan pembentukan perdamaian pada teori liberalisme, yaitu dengan pembentukan global goverment. Jadi, teori liberalisme dan neoliberalisme mempunyai kesamaan dalam bidang kebebasan individu dan pembentukan perdamaian dengan tidak menggunakan aspek militer.
Manurut saya, teori liberalisme dan neoliberalisme sangat bagus dalam penerapan kebebasan individu. Sehingga tiap individu bisa terus mencari inovasi baru dalam meningkatkan kesejahteraannya sendiri. Dalam pembentukan perdamaian juga saya rasa cukup cemerlang dengan meniadakan suatu tindakan militer dalam proses perdamaian.
Namun dengan adanya intervensi dari kaum kapitalis, menyebabkan idealisme suatu negara dapat termakan oleh intervensi-intervensi kaum kapitalis. Sehingga dalam pembentukan kebijakan politik, akan ada perubahan ideologi di dalam negara tersebut. Oleh karena itu, perlu adanya suatu filerisasi terhadap pihak-pihak kapitalis yang bisa mengintervensi kebijakan-kebijakan pemerintah.
DAFTAR PUSTAKA
Burchill, Scott. 2005. Theories of International Relations. New York: Palgrave Macmillan.
Jackson, Robert dan George Sorensen.1999. Pengantar Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
MENGKAJI KEMBALI PARADIGMA REALISME DAN NEOREALISME
Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
Para scholar Ilmu Hubungan Internasional tentunya telah mengenal beberapa prespektif dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Diantaranya yaitu prespektif realisme dan neorealisme yang merupakan dua prespektif paling dominan dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Dan dalam bahasan kali ini, saya ingin mengkaji kembali keduanya lewat asumsi-asumsi yang mendasari kedua prespektif, sistem internasional, fokus utama dan aktor utama dari kedua prespektif, serta tentang perdamaian dan stabilitas internasional.
1. Realisme
Berawal dari sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II, realisme hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan idealis. Pandangan-pandangan yang menjadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan pemikiran para penganut idealisme. Adapun pandangan atau asumsi dasar dari prespektif realisme, antara lain (1) memandang secara pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang cenderung berbuat baik. Prespektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu bersifat jahat, berambisi untuk berkuasa, bereperang, dan tidak mau bekerjasama; (2) bersikap skeptis terhadap kemajuan politik internasional dan politik domestik; (3) meyakini bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual atau berpotensi menghasilkan konflik. Dan konflik-konflik internasional yang terjadi hanya bisa diselesaikan dengan jalan perang; (4) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan eksistensi atau kelangsungan hidup negara.
Kaum realis memandang bahwa sistem internasional adalah sebuah sistem yang bersifat anarki. Pandangan ini muncul karena tidak adanya government above then states. Oleh karena itu, elemen-elemen yang ada di dalamnya harus berjuang sedemikian rupa untuk membangun kekuatan, sehingga dapat menciptakan balance of power. Dalam sistem anarki seperti ini, tidak ada satu aturan pun yang mengatur hubungan antarnegara. Setiap negara berhubungan tanpa adanya aturan yang jelas. Sehingga, kemungkinan terjadinya konflik antarnegara sangatlah besar. Dalam sistem yang anarki, negara juga tidak bisa menggantungkan keamanan nasional dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, selain pada kemampuannya sendiri.
Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional sebagai prioritas atau fokus utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu ke dalam kategori high politics. Sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, yang termasuk ke dalam kategori low politics.
Realisme juga memfokuskan analisisnya pada power dan otonomi dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya keharmonisan diantara negara-negara, sehingga konsep self-help di sini menjadi penting. Dan kemampuan yang paling relevan, yaitu kemampuan di bidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral. Hanya saja dalam prakteknya, moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup negara dan penduduknya serta pencapaian kepentingan nasional.
Bagi kaum realis, negara merupakan aktor utama dalam panggung internasional. Sebagai aktor utama, negara berkewajiban mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam kancah politik internasional. Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal dan rasional. Maksudnya adalah dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara. Sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal.
Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatian pada potensi konflik yang ada di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional, mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan, dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan. Oleh karena itu, power adalah konsep kunci.
2. Neorealisme
Neorealisme bisa juga disebut sebagai structural realism. Substansi pemikiran realisme klasik masih menjadi dasar dalam pemikiran neorealisme ini. Perbedaanya hanya terletak pada pendekatan yang non-sistemik. Berbeda dengan prespektif realis yang mempersalahkan aktor (baik negara sebagai aktor maupun sifat dasar manusia) atas segala chaos yang terjadi di dalam dunia internasional, prespektif neorealisme lebih cenderung mempersalahkan sistem, sebagai faktor utama yang mendorong state-actor.
Kenneth Waltz telah memberikan dampak yang luar biasa dalam memahami pendekatan neorealisme dalam bukunya Theory of International Politics (1979). Asumsi utama yang diajukan antara lain (1) kondisi anarki hubungan state dengan aktor lainnya; (2) struktur sistem sangat mempengaruhi tingkah laku aktor; (3) self interest memaksa state yang hidup dalam kondisi anarki memilih self help daripada kooperasi.
Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena memang struktur internasional terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir dalam rangka merevisi realisme klasik, keberadaan aktor-aktor dirasa kurang begitu penting dalam prespektif neorealisme. Sebab pada dasarnya, sitem internasional beserta efeknya adalah faktor utama yang menentukan tindakan. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki, yaitu tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain, setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing.
Bertentangan dengan asumsi Morgenthau, Waltz mengklaim bahwa dalam hal ini, sistem bipolar lebih stabil daripada multipolar. Mengapa sistem bipolar dikatakan lebih stabil dibandingkan multipolar? Menurut Waltz, sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan stabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif, sebab lebih sedikit negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah. Dengan kata lain, stabilitas dalam neorealis adalah pencarian sebuah equilibrium. Dengan demikian, sistem bipolar diyakini Waltz lebih stabil dibandingkan sistem multipolar.
Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, Robert & George Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
Morgenthau, Hans J. 1985. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Alfre A. Knopf.
Viotti, Paul R. & Mark V. Kauppi. 1998. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalis, and Beyond. MA: A Viacom Company
Waltz, Kenneth Neal. 1979. Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley Pub. Co.
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
Para scholar Ilmu Hubungan Internasional tentunya telah mengenal beberapa prespektif dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Diantaranya yaitu prespektif realisme dan neorealisme yang merupakan dua prespektif paling dominan dalam studi Ilmu Hubungan Internasional. Dan dalam bahasan kali ini, saya ingin mengkaji kembali keduanya lewat asumsi-asumsi yang mendasari kedua prespektif, sistem internasional, fokus utama dan aktor utama dari kedua prespektif, serta tentang perdamaian dan stabilitas internasional.
1. Realisme
Berawal dari sejarah studi Hubungan Internasional yang muncul antara Perang Dunia I dan II, realisme hadir sebagai arus utama pendekatan hubungan internasional akibat ketidaksempurnaan pendekatan idealis. Pandangan-pandangan yang menjadi fundasi aliran ini posisinya berseberangan dengan pemikiran para penganut idealisme. Adapun pandangan atau asumsi dasar dari prespektif realisme, antara lain (1) memandang secara pesimistis terhadap sifat dasar manusia yang cenderung berbuat baik. Prespektif ini berkeyakinan bahwa manusia itu bersifat jahat, berambisi untuk berkuasa, bereperang, dan tidak mau bekerjasama; (2) bersikap skeptis terhadap kemajuan politik internasional dan politik domestik; (3) meyakini bahwa hubungan internasional bersifat konfliktual atau berpotensi menghasilkan konflik. Dan konflik-konflik internasional yang terjadi hanya bisa diselesaikan dengan jalan perang; (4) menjunjung tinggi nilai-nilai keamanan nasional dan eksistensi atau kelangsungan hidup negara.
Kaum realis memandang bahwa sistem internasional adalah sebuah sistem yang bersifat anarki. Pandangan ini muncul karena tidak adanya government above then states. Oleh karena itu, elemen-elemen yang ada di dalamnya harus berjuang sedemikian rupa untuk membangun kekuatan, sehingga dapat menciptakan balance of power. Dalam sistem anarki seperti ini, tidak ada satu aturan pun yang mengatur hubungan antarnegara. Setiap negara berhubungan tanpa adanya aturan yang jelas. Sehingga, kemungkinan terjadinya konflik antarnegara sangatlah besar. Dalam sistem yang anarki, negara juga tidak bisa menggantungkan keamanan nasional dan kelangsungan hidupnya pada negara atau institusi lain, selain pada kemampuannya sendiri.
Para pemikir realis juga menempatkan keamanan nasional sebagai prioritas atau fokus utama dalam prespektif realisme. Dalam kacamata realis, keamanan militer dan isu-isu strategis tergolong kepentingan utama dan mengacu ke dalam kategori high politics. Sedangkan ekonomi dan isu-isu sosial dilihat oleh kaum realis sebagai hal yang biasa, yang termasuk ke dalam kategori low politics.
Realisme juga memfokuskan analisisnya pada power dan otonomi dalam interaksi internasional serta tentang tidak adanya keharmonisan diantara negara-negara, sehingga konsep self-help di sini menjadi penting. Dan kemampuan yang paling relevan, yaitu kemampuan di bidang militer. Realis tidak menafikan prinsip-prinsip moral. Hanya saja dalam prakteknya, moralitas individual dikalahkan oleh kelangsungan hidup negara dan penduduknya serta pencapaian kepentingan nasional.
Bagi kaum realis, negara merupakan aktor utama dalam panggung internasional. Sebagai aktor utama, negara berkewajiban mempertahankan kepentingan nasionalnya dalam kancah politik internasional. Negara dalam konteks ini diasumsikan sebagai entitas yang bersifat tunggal dan rasional. Maksudnya adalah dalam tataran negara, perbedaan pandangan politis telah diselesaikan hingga menghasilkan satu suara. Sedangkan negara dianggap rasional karena mampu mengkalkulasikan bagaimana cara mencapai kepentingan agar mendapat hasil yang maksimal.
Seorang realis juga biasanya memusatkan perhatian pada potensi konflik yang ada di antara aktor negara, dalam rangka memperhatikan atau menjaga stabilitas internasional, mengantisipasi kemungkinan kegagalan upaya penjagaan stabilitas, memperhitungkan manfaat dari tindakan paksaan sebagai salah satu cara pemecahan terhadap perselisihan, dan memberikan perlindungan terhadap tindakan pelanggaran wilayah perbatasan. Oleh karena itu, power adalah konsep kunci.
2. Neorealisme
Neorealisme bisa juga disebut sebagai structural realism. Substansi pemikiran realisme klasik masih menjadi dasar dalam pemikiran neorealisme ini. Perbedaanya hanya terletak pada pendekatan yang non-sistemik. Berbeda dengan prespektif realis yang mempersalahkan aktor (baik negara sebagai aktor maupun sifat dasar manusia) atas segala chaos yang terjadi di dalam dunia internasional, prespektif neorealisme lebih cenderung mempersalahkan sistem, sebagai faktor utama yang mendorong state-actor.
Kenneth Waltz telah memberikan dampak yang luar biasa dalam memahami pendekatan neorealisme dalam bukunya Theory of International Politics (1979). Asumsi utama yang diajukan antara lain (1) kondisi anarki hubungan state dengan aktor lainnya; (2) struktur sistem sangat mempengaruhi tingkah laku aktor; (3) self interest memaksa state yang hidup dalam kondisi anarki memilih self help daripada kooperasi.
Neorealisme memandang keamanan internasional bersifat anarki karena memang struktur internasional terdiri atas negara-negara yang berdaulat, dan tidak ada pemerintahan dunia. Sehingga, neorealisme menekankan studinya pada struktur sistem dan distribusi kekuasaan. Karena lahir dalam rangka merevisi realisme klasik, keberadaan aktor-aktor dirasa kurang begitu penting dalam prespektif neorealisme. Sebab pada dasarnya, sitem internasional beserta efeknya adalah faktor utama yang menentukan tindakan. Dikarenakan sistem internasional bersifat anarki, yaitu tidak ada otoritas sentral yang melindungi suatu negara dari negara lain, setiap negara harus tetap survive dengan caranya masing-masing.
Bertentangan dengan asumsi Morgenthau, Waltz mengklaim bahwa dalam hal ini, sistem bipolar lebih stabil daripada multipolar. Mengapa sistem bipolar dikatakan lebih stabil dibandingkan multipolar? Menurut Waltz, sistem bipolar bersifat superior dibanding multipolar karena menyediakan stabilitas internasional yang lebih besar. Setidaknya ada tiga alasan untuk menjelaskan stabilitas sistem bipolar. Pertama, jumlah konflik antarnegara berkekuatan besar jauh lebih sedikit, dan hal ini mengurangi jumlah kemungkinan perang antar negara-negara besar. Kedua, lebih mudah menjalankan sistem penangkalan yang efektif, sebab lebih sedikit negara-negara berkekuatan besar yang terlibat. Terakhir adalah kemungkinan salah perhitungan dan salah bertindak lebih rendah. Dengan kata lain, stabilitas dalam neorealis adalah pencarian sebuah equilibrium. Dengan demikian, sistem bipolar diyakini Waltz lebih stabil dibandingkan sistem multipolar.
Fokus Waltz dalam neorealismenya adalah bagaimana menciptakan sistem atau mengoperasikan sistem. Berbeda dari Morgenthau yang banyak mengupas sifat alami manusia, khususnya pemimpin negara, Waltz memandang pemimpin negara adalah sekadar tawanan dari struktur sistem negara dan logika determinasinya yang memberikan petunjuk tentang apa yang harus mereka lakukan dalam menjalankan kebijakan luar negerinya. Argumen ini pada dasarnya merupakan teori determinis di mana strukturlah yang menentukan kebijakan.
DAFTAR PUSTAKA
Jackson, Robert & George Sorensen. 1999. Pengantar Studi Hubungan Internasional. Yogyakarta: PT Pustaka Pelajar
Morgenthau, Hans J. 1985. Politics Among Nations: The Struggle for Power and Peace. New York: Alfre A. Knopf.
Viotti, Paul R. & Mark V. Kauppi. 1998. International Relations Theory: Realism, Pluralism, Globalis, and Beyond. MA: A Viacom Company
Waltz, Kenneth Neal. 1979. Theory of International Politics. Reading, MA: Addison-Wesley Pub. Co.
Sajak Sederhana--Untuk Adikku di Surga
Untuk adikku...
Aku ingin mengajakmu terbang bersamaku. Mengitari langit yang tinggi, lalu singgah di bumi. Bersama-sama melewati tapal batas yang tak seharusnya. Menjejaki tanah merah yang dingin. Dan, menghirup aroma embun yang singgah di pucuk-pucuk daun.
Aku ingin berlari. Tentunya bersamamu. Bersama merapal mantra yang terkadang sulit di eja. Mantra-mantra penuh cinta. Cintaku yang belum tuntas tersampaikan padamu.
Dinar Prisca Putri
Surabaya, 29 Maret 2010
American Fundamental Values's Quotation
Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
“In the progress of personality, first comes a declaration of independence, then a recognition of interdependence.”
(Henry Van Dyke)
Henry Van Dyke adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika. Ia lahir pada tahun 1852 dan kemudian wafat pada usia 81 tahun. Semasa hidup ia pernah mengatakan bahwa dalam perkembangan kepribadian, pertama hadir sebuah deklarasi kemerdekaan, kemudian sebuah pengakuan saling ketergantungan.
Berdasarkan pernyataan Henry Van Dyke di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setelah dikumandangkannya deklarasi kemerdekaan Amerika, terciptalah sebuah ikatan persatuan yang kokoh diantara rakyat Amerika.
Menurut sejarahnya, pada tahun 1776 timbul revolusi oleh ke-13 negara koloni di Amerika. Mereka menyatakan dengan suara bulat tentang Decalaration of odependence pada tanggal 4 Juli 1776. Pernyataan itu berbunyi, “Adalah dengan sendirinya terang, bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa mereka oleh Tuhan dikarunia beberapa hak yang tidak dapat di tawar-gugat, di antaranya: kehidupan, kemerdekaan, dan kehendak mencapai kebahagiaan. Bahwa untuk melindungi hak-hak itu, pemerintah harus dilakukan oleh orang-orang yang menerima kekuasaannya dengan persetujuan mereka yang diperintah. Bahwa manakala sesuatu pemerintah membahayakan bagi pemeliharaan maksud itu, adalah hak rakyat untuk mengganti atau menghapuskan pemerintah itu, dan membentuk pemerintah baru.
Melihat hal tersebut, maka jelas bahwa masyakat Amerika adalah sebuah bangsa yang sangat menjunjung tinggi kedaulatan dan hak-hak asasi manusia. Hal itu sangat dimungkinkan oleh proses pembentukan tigabelas koloni yang sangat bersifat pluralis dan menekankan prinsip-prinsip liberalisme dalam berbagai hal, khususnya dalam hal ekonomi.
Setelah diadakan berbagai perundingan antara koloni Amerika dan Pemerintah Inggris, maka pada tanggal 20 Januari 1983, dilakukan “Perdamaian Paris” yang mana salah satu isinya adalah tentang pengakuan kedaulatan rakyat Amerika oleh Pemerintah Inggris.
Declaration of Independence itu sendiri mampu membuat rakyat Amerika bersatu dalam suatu ikatan persatuan. Hal tersebut kemudian menciptakan suatu perasaan saling bergantung (interdependence) di antara mereka, untuk bersama-sama menjunjung tinggi kedaulatan dan saling bekerjasama dalam mempertahankan kemerdekaannya.
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
“In the progress of personality, first comes a declaration of independence, then a recognition of interdependence.”
(Henry Van Dyke)
Henry Van Dyke adalah seorang penulis berkebangsaan Amerika. Ia lahir pada tahun 1852 dan kemudian wafat pada usia 81 tahun. Semasa hidup ia pernah mengatakan bahwa dalam perkembangan kepribadian, pertama hadir sebuah deklarasi kemerdekaan, kemudian sebuah pengakuan saling ketergantungan.
Berdasarkan pernyataan Henry Van Dyke di atas, dapat ditarik suatu kesimpulan bahwa setelah dikumandangkannya deklarasi kemerdekaan Amerika, terciptalah sebuah ikatan persatuan yang kokoh diantara rakyat Amerika.
Menurut sejarahnya, pada tahun 1776 timbul revolusi oleh ke-13 negara koloni di Amerika. Mereka menyatakan dengan suara bulat tentang Decalaration of odependence pada tanggal 4 Juli 1776. Pernyataan itu berbunyi, “Adalah dengan sendirinya terang, bahwa semua orang diciptakan sama, bahwa mereka oleh Tuhan dikarunia beberapa hak yang tidak dapat di tawar-gugat, di antaranya: kehidupan, kemerdekaan, dan kehendak mencapai kebahagiaan. Bahwa untuk melindungi hak-hak itu, pemerintah harus dilakukan oleh orang-orang yang menerima kekuasaannya dengan persetujuan mereka yang diperintah. Bahwa manakala sesuatu pemerintah membahayakan bagi pemeliharaan maksud itu, adalah hak rakyat untuk mengganti atau menghapuskan pemerintah itu, dan membentuk pemerintah baru.
Melihat hal tersebut, maka jelas bahwa masyakat Amerika adalah sebuah bangsa yang sangat menjunjung tinggi kedaulatan dan hak-hak asasi manusia. Hal itu sangat dimungkinkan oleh proses pembentukan tigabelas koloni yang sangat bersifat pluralis dan menekankan prinsip-prinsip liberalisme dalam berbagai hal, khususnya dalam hal ekonomi.
Setelah diadakan berbagai perundingan antara koloni Amerika dan Pemerintah Inggris, maka pada tanggal 20 Januari 1983, dilakukan “Perdamaian Paris” yang mana salah satu isinya adalah tentang pengakuan kedaulatan rakyat Amerika oleh Pemerintah Inggris.
Declaration of Independence itu sendiri mampu membuat rakyat Amerika bersatu dalam suatu ikatan persatuan. Hal tersebut kemudian menciptakan suatu perasaan saling bergantung (interdependence) di antara mereka, untuk bersama-sama menjunjung tinggi kedaulatan dan saling bekerjasama dalam mempertahankan kemerdekaannya.
American Political Heritage's Quotation
Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
“Let us heed the voice of the people and recognize their common sense. If we do not, we not only blaspheme our political heritage, we ignore the common ties that bind all Americans.”
(Barbara Jordan)
Barbara Charline Jordan merupakan wanita kulit hitam pertama yang berhasil duduk dalam senat pada tahun 1966. Wanita berdarah Afrika–Amerika ini, seperti yang telah tersebut sebelumnya, pernah mengatakan, “Perhatikanlah suara rakyat dan hargailah pikiran mereka. Jika kita tidak melakukannya, kita tidak hanya mengutuk warisan politik kita, kita mengabaikan pertalian yang mengikat seluruh rakyat Amerika.”
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Barbara Jordan tersebut, menurut saya tersembunyi sebuah arti bahwa Amerika tidak lagi menghiraukan suara rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi. Apalagi Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling getol mempromosikan sistem demokrasinya ke seluruh dunia. Keadaan yang seperti itu, menurut Barbara sama saja dengan tidak menghiraukan warisan politik Amerika sebagai sebuah negara demokrasi, sehingga keadaan tersebut secara tidak langsung dapat memutuskan ikatan yang telah terjalin antar warga negara Amerika. Tentu saja. Jika suatu pemerintahan demokrasi tidak mau lagi mendengarkan aspirasi rakyatnya, hal itu bisa saja menjadi momok yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan nasional.
Lalu apakah makna sebenarnya yang tersembunyi dibalik demokrasi Amerika? Demokrasi dalam makna yang sesungguhnya sebagai sebuah kekuasaan rakyat, sebenarnya merupakan sebuah proses yang dialektis. Ia adalah hasil dari perjuangan antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan pemerintah yang menjalankan kekuasaan tersebut. Dalam makna ini, tak ada yang disebut pelimpahan kekuasaan dari rakyat kepada pemerintah. Yang ada adalah pendelegasian kekuasaan dari rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan kepada pemerintah.
Amerika Serikat adalah negara yang mengklaim paling demokratis, namun pada kenyataannya banyak hal yang bertolak belakang dengan hal itu. William R. Nylen dalam bukunya "Participatory Democracy versus Elitist Democracy: Lessons from Brazil" (2003), menyatakan bahwa demokrasi AS telah menyimpang dari pengertian demokrasi sebagai kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi Amerika telah menjadi kendaraan bagi elite untuk mengamankan dan meluaskan kepentingannya, sembari mengasingkan kepentingan mayoritas rakyat Amerika. Rakyat Amerika kini merasakan betapa negara telah menjadi begitu kuatnya sehingga suara mereka kalah kencang dibandingkan dengan suara birokrasi kekuasaan.
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
“Let us heed the voice of the people and recognize their common sense. If we do not, we not only blaspheme our political heritage, we ignore the common ties that bind all Americans.”
(Barbara Jordan)
Barbara Charline Jordan merupakan wanita kulit hitam pertama yang berhasil duduk dalam senat pada tahun 1966. Wanita berdarah Afrika–Amerika ini, seperti yang telah tersebut sebelumnya, pernah mengatakan, “Perhatikanlah suara rakyat dan hargailah pikiran mereka. Jika kita tidak melakukannya, kita tidak hanya mengutuk warisan politik kita, kita mengabaikan pertalian yang mengikat seluruh rakyat Amerika.”
Dalam pernyataan yang disampaikan oleh Barbara Jordan tersebut, menurut saya tersembunyi sebuah arti bahwa Amerika tidak lagi menghiraukan suara rakyat sebagai pemegang kekuasaan tertinggi dalam suatu negara yang menganut paham demokrasi. Apalagi Amerika Serikat adalah salah satu negara yang paling getol mempromosikan sistem demokrasinya ke seluruh dunia. Keadaan yang seperti itu, menurut Barbara sama saja dengan tidak menghiraukan warisan politik Amerika sebagai sebuah negara demokrasi, sehingga keadaan tersebut secara tidak langsung dapat memutuskan ikatan yang telah terjalin antar warga negara Amerika. Tentu saja. Jika suatu pemerintahan demokrasi tidak mau lagi mendengarkan aspirasi rakyatnya, hal itu bisa saja menjadi momok yang dapat mengancam persatuan dan kesatuan nasional.
Lalu apakah makna sebenarnya yang tersembunyi dibalik demokrasi Amerika? Demokrasi dalam makna yang sesungguhnya sebagai sebuah kekuasaan rakyat, sebenarnya merupakan sebuah proses yang dialektis. Ia adalah hasil dari perjuangan antara rakyat sebagai sumber kekuasaan dan pemerintah yang menjalankan kekuasaan tersebut. Dalam makna ini, tak ada yang disebut pelimpahan kekuasaan dari rakyat kepada pemerintah. Yang ada adalah pendelegasian kekuasaan dari rakyat sebagai pemegang mandat kekuasaan kepada pemerintah.
Amerika Serikat adalah negara yang mengklaim paling demokratis, namun pada kenyataannya banyak hal yang bertolak belakang dengan hal itu. William R. Nylen dalam bukunya "Participatory Democracy versus Elitist Democracy: Lessons from Brazil" (2003), menyatakan bahwa demokrasi AS telah menyimpang dari pengertian demokrasi sebagai kekuasaan dari, oleh, dan untuk rakyat. Demokrasi Amerika telah menjadi kendaraan bagi elite untuk mengamankan dan meluaskan kepentingannya, sembari mengasingkan kepentingan mayoritas rakyat Amerika. Rakyat Amerika kini merasakan betapa negara telah menjadi begitu kuatnya sehingga suara mereka kalah kencang dibandingkan dengan suara birokrasi kekuasaan.
MENGKAJI FENOMENA BARU YANG LAHIR DI ERA GLOBALISASI
Oleh:
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
Globalisasi. Kapan sebenarnya ia hadir ke tengah-tengah kita? Dan kapan ia mulai mewarnai berbagai aspek kehidupan di dunia? Globalisasi mulai menampakkan gaungnya pada sekitar tahun delapanpuluhan abad ini. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa telah menjajah bangsa lainnya secara militer maupun ekonomi. Istilah globalisasi itu sendiri pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt pada tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan.
Dalam bahasan kali ini, saya mencoba menyelidik fenomena baru apa saja yang hadir seiring dengan merebaknya globalisasi dan berusaha mengkajinya lebih jauh. Tulisan ini sendiri terutama menitikberatkan pada bidang ekonomi dan teknologi informasi. Dalam ranah ekonomi, saya akan mengambil contoh berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai salah satu fenomena baru yang lahir pada era globalisasi. Sedangkan dalam bidang teknologi informasi, akan diangkat tema mengenai e-government yang hadir sebagai wujud implikasi dari proses globalisasi.
World Trade Organization (WTO)
Seperti yang kita tahu, pada era pra globalisasi, pembangunan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Maka di era globalisasi seperti sekarang ini, mereka didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi global, yang secara logis telah mengalami perluasan aktor. Di era globalisasi, aktor yang bermain bukan hanya negara tetapi juga melibatkan perusahan transnasional (TNCs), bank-bank transnasional (TNBs), lembaga keuangan multilateral (Bank Dunia dan IMF), serta birokrasi perdagangan regional dan global seperti WTO yang merupkan Organisasi Perdagangan Dunia.
Berdirinya World Trade Organization (WTO) secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995, menjadi bibit persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas di antara semua negara. Perdagangan bebas dewasa ini menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh. Persetujuan-persetujuan yang ada dalam kerangka WTO bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih bersaing secara terbuka, fair dan sehat.
WTO merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. WTO juga memiliki beberapa tujuan penting. Pertama, mendorong arus perdagangan antarnegara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Kedua, memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih permanen, mengingat perundingan perdagangan internasional di masa lalu prosesnya sangatlah kompleks dan memakan waktu. Tujuan penting lainnya adalah untuk menyelesaian sengketa, mengingat hubungan dagang sering kali menimbulkan konflik-konflik kepentingan. Meskipun telah ada persetujuan-persetujuan dalam WTO yang sudah disepakati anggotanya, masih dapat terjadi kemungkinan perbedaan interpretasi dan pelanggaran. Sehingga diperlukan prosedur legal dalam penyelesaian sengketa yang netral dan telah disepakati bersama.
Sebagai organisasi antarpemerintah, WTO tentunya dikelola oleh pemerintah negara-negara anggotanya. Adapun fungsi utama didirikannya WTO adalah untuk memberikan kerangka kelembagaan bagi hubungan perdagangan antar negara anggota dalam implementasi perjanjian dan berbagai instrument hukum termasuk yang terdapat di dalam Persetujuan WTO.
E-Government
Tulisan ini salah satunya hendak mengangkat tentang e-government sebagai sebuah fenomena baru yang lahir dari proses globalisasi. Seperti diketahui bahwa globalisasi salah satunya ditandai dengan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi di berbagai aspek kehidupan dan tidak terbatas pada satu tempat dan waktu. Globalisasi juga menjadikan dunia tidak lagi dibatasi secara tegas dan jelas berdasarkan wilayah teritorial. Dengan kata lain, e-government salah satunya dipicu oleh globalisasi.
Lalu apa definisi dari e-government itu sendiri? Ada beberapa macam definisi tentang e-government. Salah satunya, menurut Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi nasional Pengembangan Elektronik Government, e-goverment merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan pemerintah yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Pada intinya, e-government adalah penyediaan pelayanan informasi dan komunikasi yang dijalankan oleh pemerintah kepada warga negara dan sektor bisnis melalui sarana teknologi informasi.
Adapun bentuk implementasi e-government di Indonesia, antara lain:
1. Penayangan hasil pemilu secara on-line dan real time.
2. RI-Net sebagai sistem yang menyediakan email serta akses internet kepada para pejabat.
3. Info RI. Penyedia informasi dari BIKN.
4. Penggunaan berbagai media komunikasi elektronik (internet) di beberapa pemerintah daerah tempat.
E-government ini tentunya juga membawa banyak manfaat, antara lain:
1. Informasi dapat disediakan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, tanpa harus menunggu dibukanya kantor pemerintah. Informasi dapat di dapat tanpa harus secara fisik datang ke kantor pemerintahan.
2. Meningkatkan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum.
3. Informasi yang mencukupi dan sangat mudah diperoleh.
4. Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien, seperti koordinasi pemerintahan yang dapat dilakukan melalui email atau bahkan video conferencing.
Namun mampukah pemerintah dalam menyediakan layanan berbentuk elektronis layaknya e-government? Seringkali pemerintah merasa kebingungan dikarenakan minimnya sumber daya manusia dan finansial yang dimiliki. Namun sebenarnya, langkah awal yang harus dimulai adalah dengan memberikan komitmen dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan melalui media elektronik, seperti e-government ini merupakan salah satu bentuk dalam peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. (*)
REFERENSI
Hidayat, Mochamad Slamet, dkk. 2006. Sekilas Tentang WTO (World Trade Organization). Jakarta : Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, Direktorat Jendral Multilateral Departemen Luar Negeri
http://www.sourceuk.net/sectors/egovernment
Dinar Prisca Putri
Mahasiswi Ilmu Hubungan Internasional FISIP UNAIR
Globalisasi. Kapan sebenarnya ia hadir ke tengah-tengah kita? Dan kapan ia mulai mewarnai berbagai aspek kehidupan di dunia? Globalisasi mulai menampakkan gaungnya pada sekitar tahun delapanpuluhan abad ini. Satu hal yang perlu dicatat adalah bahwa globalisasi belum pernah terjadi atau ditemukan pada abad-abad sebelumnya, meskipun beberapa negara atau bangsa telah menjajah bangsa lainnya secara militer maupun ekonomi. Istilah globalisasi itu sendiri pertama kali digunakan oleh Theodore Levitt pada tahun 1985 yang menunjuk pada politik-ekonomi, khususnya politik perdagangan bebas dan transaksi keuangan.
Dalam bahasan kali ini, saya mencoba menyelidik fenomena baru apa saja yang hadir seiring dengan merebaknya globalisasi dan berusaha mengkajinya lebih jauh. Tulisan ini sendiri terutama menitikberatkan pada bidang ekonomi dan teknologi informasi. Dalam ranah ekonomi, saya akan mengambil contoh berdirinya Organisasi Perdagangan Dunia (WTO) sebagai salah satu fenomena baru yang lahir pada era globalisasi. Sedangkan dalam bidang teknologi informasi, akan diangkat tema mengenai e-government yang hadir sebagai wujud implikasi dari proses globalisasi.
World Trade Organization (WTO)
Seperti yang kita tahu, pada era pra globalisasi, pembangunan lebih menekankan pada pertumbuhan ekonomi nasional. Maka di era globalisasi seperti sekarang ini, mereka didorong untuk menjadi bagian dari pertumbuhan ekonomi global, yang secara logis telah mengalami perluasan aktor. Di era globalisasi, aktor yang bermain bukan hanya negara tetapi juga melibatkan perusahan transnasional (TNCs), bank-bank transnasional (TNBs), lembaga keuangan multilateral (Bank Dunia dan IMF), serta birokrasi perdagangan regional dan global seperti WTO yang merupkan Organisasi Perdagangan Dunia.
Berdirinya World Trade Organization (WTO) secara resmi pada tanggal 1 Januari 1995, menjadi bibit persemaian awal ide pasar dan perdagangan bebas di antara semua negara. Perdagangan bebas dewasa ini menuntut semua pihak untuk memahami persetujuan perdagangan internasional dengan segala implikasinya terhadap perkembangan ekonomi nasional secara menyeluruh. Persetujuan-persetujuan yang ada dalam kerangka WTO bertujuan untuk menciptakan sistem perdagangan dunia yang mengatur masalah-masalah perdagangan agar lebih bersaing secara terbuka, fair dan sehat.
WTO merupakan satu-satunya badan internasional yang secara khusus mengatur masalah perdagangan antarnegara. WTO juga memiliki beberapa tujuan penting. Pertama, mendorong arus perdagangan antarnegara dengan mengurangi dan menghapus berbagai hambatan yang dapat mengganggu kelancaran arus perdagangan barang dan jasa. Kedua, memfasilitasi perundingan dengan menyediakan forum negosiasi yang lebih permanen, mengingat perundingan perdagangan internasional di masa lalu prosesnya sangatlah kompleks dan memakan waktu. Tujuan penting lainnya adalah untuk menyelesaian sengketa, mengingat hubungan dagang sering kali menimbulkan konflik-konflik kepentingan. Meskipun telah ada persetujuan-persetujuan dalam WTO yang sudah disepakati anggotanya, masih dapat terjadi kemungkinan perbedaan interpretasi dan pelanggaran. Sehingga diperlukan prosedur legal dalam penyelesaian sengketa yang netral dan telah disepakati bersama.
Sebagai organisasi antarpemerintah, WTO tentunya dikelola oleh pemerintah negara-negara anggotanya. Adapun fungsi utama didirikannya WTO adalah untuk memberikan kerangka kelembagaan bagi hubungan perdagangan antar negara anggota dalam implementasi perjanjian dan berbagai instrument hukum termasuk yang terdapat di dalam Persetujuan WTO.
E-Government
Tulisan ini salah satunya hendak mengangkat tentang e-government sebagai sebuah fenomena baru yang lahir dari proses globalisasi. Seperti diketahui bahwa globalisasi salah satunya ditandai dengan berkembang pesatnya teknologi informasi dan komunikasi di berbagai aspek kehidupan dan tidak terbatas pada satu tempat dan waktu. Globalisasi juga menjadikan dunia tidak lagi dibatasi secara tegas dan jelas berdasarkan wilayah teritorial. Dengan kata lain, e-government salah satunya dipicu oleh globalisasi.
Lalu apa definisi dari e-government itu sendiri? Ada beberapa macam definisi tentang e-government. Salah satunya, menurut Instruksi Presiden Nomor 3 tahun 2003 tentang Kebijakan dan Strategi nasional Pengembangan Elektronik Government, e-goverment merupakan upaya untuk mengembangkan penyelenggaraan pemerintah yang berbasis elektronik dalam rangka meningkatkan kualitas layanan publik secara efektif dan efisien. Pada intinya, e-government adalah penyediaan pelayanan informasi dan komunikasi yang dijalankan oleh pemerintah kepada warga negara dan sektor bisnis melalui sarana teknologi informasi.
Adapun bentuk implementasi e-government di Indonesia, antara lain:
1. Penayangan hasil pemilu secara on-line dan real time.
2. RI-Net sebagai sistem yang menyediakan email serta akses internet kepada para pejabat.
3. Info RI. Penyedia informasi dari BIKN.
4. Penggunaan berbagai media komunikasi elektronik (internet) di beberapa pemerintah daerah tempat.
E-government ini tentunya juga membawa banyak manfaat, antara lain:
1. Informasi dapat disediakan 24 jam sehari, 7 hari dalam seminggu, tanpa harus menunggu dibukanya kantor pemerintah. Informasi dapat di dapat tanpa harus secara fisik datang ke kantor pemerintahan.
2. Meningkatkan hubungan antara pemerintah, pelaku bisnis, dan masyarakat umum.
3. Informasi yang mencukupi dan sangat mudah diperoleh.
4. Pelaksanaan pemerintahan yang lebih efisien, seperti koordinasi pemerintahan yang dapat dilakukan melalui email atau bahkan video conferencing.
Namun mampukah pemerintah dalam menyediakan layanan berbentuk elektronis layaknya e-government? Seringkali pemerintah merasa kebingungan dikarenakan minimnya sumber daya manusia dan finansial yang dimiliki. Namun sebenarnya, langkah awal yang harus dimulai adalah dengan memberikan komitmen dalam peningkatan pelayanan kepada masyarakat. Pelayanan melalui media elektronik, seperti e-government ini merupakan salah satu bentuk dalam peningkatan pelayanan pemerintah kepada masyarakat. (*)
REFERENSI
Hidayat, Mochamad Slamet, dkk. 2006. Sekilas Tentang WTO (World Trade Organization). Jakarta : Direktorat Perdagangan, Perindustrian, Investasi dan HKI, Direktorat Jendral Multilateral Departemen Luar Negeri
http://www.sourceuk.net/sectors/egovernment
Jumat, 29 Januari 2010
Panorama Subuh
"Purnama kini telah lenyap. Namun mentari tampaknya masih malu-malu memancarkan semburat kemolekannya. Hanya terdengar sayup-sayup nyanyian surgawi yg berkumandang di seantero langit. Di waktu subuh. Terbangun jiwa-jiwa yg sempat lelap dalam mimpinya masing-masing."
Dinar Prisca Putri
Bojonegoro, 29 Januari 2010
Selasa, 12 Januari 2010
"CURHAT SETANKU"
Judul: "Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya"
Penulis: Fahd Djibran (http://www.ruangtengah.co.nr/)
Penerbit: Gagas Media (http://www.gagasmedia.net/)
Terbit : 2009
Tebal: 172 halaman
Kalian tahu, sejujurnya impian lah yang membuatku memiliki harapan, dan harapan lah yang sanggup memaksaku bertahan. Mungkinkah mengganggu waktumu, jika aku sedikit mencurahkan isi hatiku hari ini? Seperti Zira dalam tulisan Fahd, izinkan aku menulis tentang mimpi dan impianku.
Beberapa hari yang lalu aku bermimpi.
Aku membeku bersama malam yang telah menembus batas kewajarannya. Mataku begitu teliti menatap rupa sang malam yang tertunduk tanpa ekspresi. Hanya hitam dan diam yang mencuat di dalam celah yang tercipta di antara kami. Aku dan sang malam, kami, sama-sama menyimpan sebentuk impian dan harapan yang masih tersimpan erat dalam genggaman.
Malam dengan angkuh begitu sombong mengelu-elukan dirinya. Menyatakan bahwa tak lama lagi harapannya akan lekas menjadi sesuatu yang nyata. Bahwa pagi akan segera menjelang dan mentari akan membawanya pergi menuju dunia yang ia nanti-nanti. Senuah dunia dimana tak kan ada lagi kegelapan, dunia yang benderang, dan tak lagi hitam.
Dan aku, apa yang terjadi denganku? Aku hanya terdiam dalam kebisuan dan keterpurukanku sendiri. Aku kehilangan kata, kehilangan tenaga, dan kehilangan harapan yang telah aku bangun jauh sebelum jiwaku sendiri ada. Harapanku hanyut bagai umpan yang terlepas dari kaitnya. Aku pun ikut terseret menenmbus gelombang samudera yang tak kutahu ke mana arah arusnya.
Sementara malam dengan angkuh terus meneriakkan simfoni kemenangannya akan diriku. Karena kini mentari telah terbit di ufuk timur, dan malam akan segera hilang oleh siang. Tapi siang lah yang membawanya pergi ke dunia yang ia impikan selama ini.
Tiba-tiba saja “setan” membelenggu jiwaku, erat sekali, sampai aku tak kuasa menepisnya. Aku pun berteriak dalam hati, “Aku curiga kepada Tuhan. Agaknya Dia yang menulis skenario ini untukku. Agaknya Dia yang membawaku singgah di dataran asing yang tak kukenal ini. Ya, tentu saja Dia. Dia Tuhan. Sepantasnya mampu melakukan apa yang Dia mau.”
Aku terdiam sejenak, lalu bisikan “setan” itu kembali merajai jiwaku. “Aku tersesat, Tuhan. Akankah Kau tahu itu. Tubuhku mungkin masih sanggup menopang semua keinginan-Mu ini. Meski sesekali aku terjatuh juga bersama raut-raut kekecewaan yang turut mewarnai setiap detik waktuku yang tersisa. Namun aku takut jiwaku bisa mati empat tahun lagi, tiga tahun lagi, dua tahun lagi, atau bahkan satu tahun lagi, jika aku terus membangun kehidupanku di tempat asing ini. Aku sesak. Aku tak bisa bernafas,” protesku dengan lantang.
Keringat dingin membasahi sekujur tubuhku. Aku benar-benar nyaris tak bisa bernafas. Nafasku terengah-engah, persis seperti orang yang lari dikejar setan, bukan setan seperti yang digambarkan Fahd dalam tulisannya, tapi setan secara harfiah.
Aku celingukan kiri-kanan. Kulirik layar ponselku, masih jam satu malam. Tapi mataku tetap tak bisa diajak kompromi, ia tak mau terpejam lagi. Akibatnya, aku hanya berkedip dalam sepi. Sembari terpaku menatap langit-langit kamar yang menguning, hanya gemericik air hujan yang terdengar menemaniku malam itu.
Tiba-tiba aku mendapati sebuah buku yang kubeli dua hari lalu tergeletak lesu di atas meja, belum sempat kubaca. “Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya”, begitu judul yang tertera jelas di sampul depan buku.
Aku tertarik dengan judul buku ini yang begitu menggoda. Layaknya sifat setan yang selalu hangat diperbincangkan, suka menggoda kami, para manusia. Berbeda dari bayanganku sebelumnya, buku ini ternyata sangat jauh dari kesan seram, horror, angker, atau apalah itu yang berhubungan erat dengan setan. Kesan itu sebenarnya ditampakkan pada cover buku yang didesain simple tapi “wah”. Hampir mirip dengan buku "Dracula", terdapat warna merah di tiap lembar tepi halamannya. Perpaduan warna putih sebagai background sampul dan warna merah sebagai tulisan judul serta sebagai warna bagian tepi halaman, membuat buku ini tampak berbeda dari deretan buku yang lain.
Jari-jari tanganku pun tak henti membolak-balik setiap halaman buku karangan Fahd Djibran ini. Karena rasa penasaran yang terus bergelanyut dalam benakku, akhirnya kuputuskan untuk membacanya juga. “Wow, setan banget!”, mungkin itu kalimat pertama yang mencuat dari mulutku ketika aku selesai membaca keseluruhan isi buku.
Melesetnya kesan buku ini dari pandangan para pembacanya, termasuk aku, tak lantas membuat isinya menjadi kurang. Dalam buku setebal 172 halaman ini, Fahd secara lincah mengajak kita melakukan perenungan terhadap fenomena-fenomena yang sebenarnya sangatlah sederhana, lumrah, dan lazim terjadi dalam kehidupan kita sehari-hari. Buku ini pun nyatanya sukses membuatku merenung semalam suntuk. Dikemas dalam 30 judul bab yang relatif singkat, dengan dibumbui pertanyaan-pertanyaan nakal namun sederhana, serta penuturan bahasanya yang mudah dimengerti, membuat maknanya tersampaikan secara apik.
“Curhat Setan”, seperti kata Fahd Djibran, rasanya sulit dikategorikan sebagai jenis buku tertentu. Namun jika kita melihat tulisan yang tertera dalam kolom ISBN di sampul belakang buku ini, nampak bahwa pihak Gagas Media mencoba mengkategorikannya ke dalam jenis buku “sastra”. Judul buku ini sendiri sebenarnya di ambil dari salah satu judul bab di dalamnya, “Curhat Setan” (halaman 125). Disajikan dalam bentuk dialog-dialog imajiner yang menggelitik, kita dituntun untuk mengkaji lebih jauh, mengapa setiap kali melakukan dosa atau kesalahan, kita selalu mengatasnamakan pihak lain, termasuk setan, sebagai penyebab utamanya. Jarang sekali kita mau dengan rendah hati mengakui kesalahan yang telah kita perbuat sendiri. Lantas, bagaimana jika suatu saat Tuan Setan meminta pertanggungjawaban kepada kita, karena merasa selalu dikambinghitamkan?
Buku karangan Fahd ini memang patut diacungi jempol. Ada beberapa bagian dalam bukunya yang memiliki makna cukup berarti bagiku secara pribadi. Akan aku tunjukkan pada kalian yang telah setia mendengar curhatku sedari awal tadi.
“Utopia adalah sebuah titik, yang ketika kau berada di sebuah horizon, titik itu berada sepuluh langkah di hadapanmu. Setiap kali kau mendekatinya sepuluh langkah, titik itu akan menjauh sepuluh langkah. Dan ketika kau berusaha menggapainya seribu langkah, titik itu selalu menjauh sebanyak langkah yang kau ambil” (halaman 111-112).
Pada awalnya aku mengira bahwa utopia yang dimaksudkan di sini adalah sebuah nama grup band asal kota kembang, Bandung, yang sempat melejit dengan hitsnya yang berjudul “Serpihan Hati”. Tapi nyatanya aku salah kaprah. Mukaku sendiri terlihat memerah habis-habisan akibat malu tak karuhan. Untunglah tak ada satu orang pun yang melihat reaksiku pada waktu itu. Atau jangan-jangan, Tuan Setan diam-diam mengawasiku? Oh, tidak! Malu sekali rasanya.
Hmm, kembali lagi pada permasalahan seputar utopia. Seperti kata Fahd dalam bukunya, “Impian memang sejenis utopia. Ia penting untuk dimiliki. Dan, anak-anak mempunyai stok yang banyak, sedangkan orang dewasa susah sekali bercita-cita dan bermimpi, padahal bermimpi tak harus bayar.” (halaman 111)
Aku memang bukan kanak-kanak lagi. Kini aku sudah duduk di bangku perkuliahan dan menyandang gelar sebagai seorang mahasisiwi. Tapi aku ingin sekali menjadi seperti mereka, anak-anak yang selalu memiliki utopia. Utopia membuat mereka tak bisa diam, mendorong mereka untuk terus melangkah, melangkah, dan melangkah demi menggapai impian mereka. Itulah alasannya mengapa aku sangat menyukai bab dalam buku ini yang berjudul “Mimpi” (halaman 107). Penjelasan Fahd akan makna sebuah utopia, membuatku semakin termotivasi untuk terus melayangkan mimpiku setinggi-tingginya, tanpa henti, tanpa spasi, tanpa jeda, sampai aku berhasil meraihnya.
Berbicara tentang mimpi dan impian, lewat tulisanku ini, ingin kuceritakan pada kalian semua tentang impianku. Bukankah di awal tadi aku sudah meminta izin untuk bercerita? Memang harus kuakui, aku bukanlah orang yang pandai menulis. Mungkin kalian yang telah membaca tulisanku ini juga beranggapan demikian, bukan? Karena aku memang bukan seorang penulis. Bukan juga Fahd Djibran yang talah berhasil menghasilkan buku yang luar biasa layaknya “Curhat Setan”. Tapi yang harus kuakui adalah aku suka menulis. Itu saja.
Kembali pada ceritaku tentang mimpi dan impian. Layaknya anak-anak seumuranku yang lain, semasa kecil pun aku memiliki sebuah mimpi.
Masih melekat dalam memori, saat aku berusia empat tahun, Ibu Guru TK bertanya kepadaku, “Apa cita-citamu, Nak?”
“Dokter, Ibu!” aku pun menjawabnya tanpa ragu.
Itulah mimpi kanak-kanakku. Menjadi seorang dokter, seperti salah satu mimpi Zira di masa kecilnya yang diceritakan Fahd dalam buku. Mungkin kedengarannya, itu memang sebuah cita-cita yang umum dikalangan anak anak. Namun aku tak ingin hanya menjadikannya sebuah angan-angan kosong anak balita, yang kemudian terhapus saat ia mulai beranjak dewasa. Yang jelas, hanya satu impianku saat ini, yaitu mewujudkan mimpi masa kecilku. Jadi Dokter. Sederhana, bukan? Ya benar, sederhana sekali. Namun perjuangan untuk meraihnya tak sesederhana yang kalian bayangkan.
Bukannya jadi mahasiswi kedokteran, sekarang aku malah nyasar di Fakultas Ilmu Sosial. Perasaan sedih, kecewa, kesal, marah, semua campur aduk jadi satu. Kekecewaan itulah yang mungkin mendasari mimpiku malam itu (mimpi yang kuceritakan di awal tulisanku). Aku merasa semua perjuanganku selama ini terbuang sia-sia. Aku tersesat. Hanya itu yang aku rasakan. Sampai-sampai dalam mimpi saja, aku protes kepada Tuhan. Protes akan kediktatoran-Nya. Tapi kejamnya aku yang justru menuding setan yang telah menghasutku, agar aku marah kepada Tuhanku. Padahal, itu mungkin akibat aku sendiri yang memang tak mau bersyukur, atas apa yang sudah diberikan Tuhan padaku sampai saat ini.
Aku pun akhirnya bangkit dari lelapku. Aku tak mau terus larut dalam kekecewaan dan keterpurukan. Toh semua itu tak akan merubah apa pun yang telah terjadi. Aku mulai menyadari, apa yang telah dianugerahkan Tuhan kepadaku, mungkin merupakan jalan yang paling sempurna. Ya, paling tidak untuk saat ini. Aku percaya ada hikmah yang tersimpan di balik rencana-Nya yang agung. Mungkin saja, agar aku terus berusaha, berjuang, tak mudah putus asa, dan tak mudah puas pastinya. Kurasa ada benarnya. Buktinya, tak ada yang mampu meredam hasrat juangku hingga detik ini. Tentu saja, karena aku seorang anak yang selalu memiliki utopia. Sebuah titik, sebuah impian, yang membuatku terus melangkah dan tak pernah lelah untuk meraihnya.
Seperti yang sempat kukatakan sebelumnya, bahwa impian lah yang membuatku selalu punya harapan. Harapan? Harapan ternyata serupa candu yang tak pernah tuntas. Seperti tempat tujuan yang selalu ada di stasiun berikutnya. Barangkali, masih ada harapan. Barangkali? Ya, “barangkali”, harapan seperti kata-kata yang tak pernah memberi kepastian semacam itu. Tapi, di stasiun, semisterius apa pun ia berada, harapan tetaplah sebuah destinasi yang nyata. Ia ada, dan siapa pun yang menempuh suatu jalan ke arahnya, suatu saat akan sampai kepadanya (halaman 88).
Tulisan Fahd Djibran ini membuatku semakin yakin bahwa dengan adanya harapan, suatu saat Tuhan akan memeluk mimpi-mimpiku dan menghantarkanku sampai ke sana. Tidak di tahun sebelumnya, namun barangkali di tahun ini ada harapan. Bukan begitu? Tentunya aku akan terus berusaha dan berdoa kepada-Nya. Karena sesungguhnya tidak ada yang sanggup mengalahkan keajaiban doa, yang merupakan komunikasi langsung dengan Tuhan. Tapi ngomong-ngomong, jika ingin berkomunikasi langsung dengan setan, lewat media apa ya? Hmm, sepertinya Fahd yang lebih tahu soal itu.
Terimakasih Fahd, atas bukumu yang mampu menginspirasiku, atas tulisanmu yang berhasil mengobarkan semangatku, atas ceritamu yang membuatku bisa memaknai hidup dari sudut pandang yang berbeda, jauh lebih baik. Terimakasih untuk kalian yang bersedia dengan tulus membaca ceritaku, curahan hatiku, dari awal hingga akhir, atau kepada kalian yang hanya berpura-pura membaca tulisanku, tak apa lah. Karena sekali lagi aku tegaskan pada kalian, bahwa aku bukanlah orang yang pandai menulis, melainkan hanyalah seorang yang suka menulis. Itu saja.
Maaf jika terlalu banyak menyita waktu kalian dengan segelumit cerita tentang mimpi dan impianku. Namun aku sangatlah berharap, ini tak akan hanya jadi cerita usang yang tak berharga. Semoga! Dan pesanku yang terakhir, jangan lupa sempatkan waktu kalian untuk membaca buku “Curhat Setan: Karena Berdosa Membuatmu Selalu Bertanya” yang ditulis oleh Fahd Djibran ini (karena kabarnya Tuan Setan belum belajar menulis). Bersiaplah untuk tersihir ke dalam dunia “setan” milik Fahd Djibran. Semoga bermanfaat!
NB:
Curhat setan ada soundtracknya juga lho...!!!
http://www.reverbnation.com/bfdf
Langganan:
Postingan (Atom)